KOMPAS.com - Tingginya populasi transportasi pribadi membuat Jakarta macet dan tidak sustainable.
Tomtom Traffic mencatat bahwa warga Jakarta menghabiskan waktu 117 jam lebih lama karena macet sepanjang pada tahun 2023.
Sementara itu, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2023 mencatat, total emisi karbon sektor transportasi Jakarta mencapai 81,17 juta kg CO2e.
Jakarta perlu membenahi transportasi umum, begitu kerap diungkapkan di berbagai forum. Debat pertama calon gubernur pada Minggu (6/10/2024) tak terkecuali.
Tiap calon bicara soal cara mengupayakan transportasi umum yang lebih baik.
Semua gagasan sebenarnya bukan hal baru. Masalahnya, di tengah Jakarta yang kebacut kompleks, seberapa realistis gagasan itu diwujudkan dan bisa jadi tolok ukur kesuksean dalam waktu 5 tahun masa jabatan?
Tambah Armada Angkutan Umum atau Tidak?
Cagub Dharma Pongrekun dengan mantap mengatakan, perbaikan transportasi umum adalah "Dengan mengoptimalkan apa yang sudah ada. Terutama manajemen. Tidak perlu menambah armada dulu."
Dharma menjelaskan, dengan perbaikan manajemen, seperti memastikan armada berangkat setiap 10 menit, transportasi umum akan memikat warga Jakarta untuk beralih moda dan mengurai kemacetan. Apalagi kalau warganya mau antri, transportasi umum bakal nyaman.
Baca juga: Pengamat Anggap Tak Ada Paslon yang Sentuh Akar Masalah Kemacetan di Jakarta
Mizandaru Wicaksono, Senior Transport Associate dari Institute Transportation and Development Policy (ITDP) menuturkan, jangkauan transportasi umum di Jakarta saat ini memang telah 89,5 persen. Warga Jakarta cukup berjalan 500 meter untuk menemukan angkutan umum.
Sekilas, memang warga Jakarta tak perlu bergantung pada transportasi pribadi lagi.
Namun, jumlah warga Jakarta yang menggunakan transportasi publik, mengecualikan pengguna ojek online, saat ini baru 11 persen.
Dengan jumlah pengguna yang kecil saja, warga harus berdesakan dalam perjalanan. Kereta komuter Jabodetabek masih didesain untuk memuat tujuh orang per meter perseginya.
Riset ITDP menunjukkan, 30 persen responden mengatakan bahwa alasan mereka tak menggunakan transportasi umum adalah karena tidak nyaman berdesakan.
Kalau pemerintah Jakarta puas dengan angka 11 persen, maka armada mungkin memang tak perlu ditambah. Manajemen traffic bisa dilakukan, misalnya menjaga jalur Transjakarta tetap steril.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya