Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsumsi Daging Berkontribusi terhadap Kerusakan Lingkungan, Kok Bisa?

Kompas.com - 11/10/2024, 15:29 WIB
Monika Novena,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Buku berjudul Regenerative Farming and Sustainable Diets (2024) yang ditulis oleh para peneliti, aktivis lingkungan, petani, dan pelopor industri memperingatkan bahwa sistem pangan di dunia bisa rusak akibat permintaan konsumsi daging.

Karenanya, perubahan radikal seperti pembuatan Perjanjian Global PBB atau pertanian yang lebih ramah lingkungan pun diperlukan untuk memperbaiki sistem pangan ini.

"Bagi manusia, hewan, dan planet ini, waktu terus berjalan. Apa yang kita lakukan sekarang akan menentukan seribu tahun mendatang," ungkap Philip Lymbery, peneliti dan penulis terkemuka.

Baca juga: Hadapi Krisis Planet, Paradigma Hukum Lingkungan Perlu Diubah

Seperti dikutip dari Phys, Jumat (11/10/2024) buku ini menjelaskan tentang peningkatan konsumsi daging telah menjadi pendorong utama krisis di planet bumi.

Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya permintaan daging akibat bertambahnya populasi global, yang akhirnya mendorong peningkatan pakan ternak.

Menurut buku tersebut, meningkatnya pakan ternak yang memanfaatkan pupuk kimia, pestisida, dan herbisida untuk memaksimalkan hasil panen di lahan pertanian membuat alam menderita.

Produksi pangan pun menjadi penyebab utama menurunnya keanekaragaman hayati, penggundulan hutan, polusi air dan udara, serta degradasi lahan.

Solusi Memperbaiki Sistem Pangan

Namun bukan berarti tidak ada solusi. Masih ada harapan untuk tetap memberi makan dunia sekaligus menyuburkan tanah serta melindungi spesies.

Baca juga: BRIN: Teknologi Nuklir Dapat Deteksi Pemalsuan Pangan

Peternak sapi perah Inggris David Finlay dalam buku ini misalnya menceritakan bagaimana ia menerapkan compassionate farming di lahan dan peternakannya.

Penerapan itu menciptakan sebuah sistem pertanian yang positif di mana ia menghasilkan susu yang melimpah, memberi makan ternak dengan daun hijau bukan pakan yang diproduksi massal.

"Kita dapat menjembatani kesenjangan emisi perubahan iklim melalui pertanian yang dikelola secara regeneratif. Jika ada 10 persen pertanian seperti itu, kita dapat mengurangi emisi dengan memperbaiki lebih banyak karbon hidup pada tanaman dan membangun karbon di tanah," ungkap cendekiawan India Vandana Shiva.

"Solusi untuk mengatasi kelaparan dan darurat iklim adalah kembali ke Bumi dan meregenerasi keanekaragaman hayati di tanah, pertanian, hutan, pola makan, dan usus kita," tambahnya.

Baca juga: Bangun SDM, Transformasi Sistem Pangan Diperlukan

Pendekatan lain yang ditawarkan adalah dengan penerapan pola makan nabati.

Ahli hematologi Inggris Shireen Kassam mengungkapkan pola makan ini bisa meningkatkan kesehatan manusia dan planet.

Dia mengutip pola makan kesehatan planet EAT-Lancet yang menunjukkan bahwa manusia memperoleh lebih dari 85 persen energi mereka dari makanan nabati yang sehat.

Pendekatan semacam itu telah terbukti mengurangi kematian akibat semua penyebab hingga lebih dari 60 persen dan mengurangi tingkat kanker hingga 40 persen.

Namun semua perubahan itu tentu perlu dukungan dari konsumen. Direktur eksekutif Waitrose, James Bailey menjelaskan perubahan revolusioner hanya akan terjadi jika diminta oleh pembeli sehingga kita memerlukan pelanggan yang memahami apa yang dipertaruhkan dan bersedia membeli makanan yang diproduksi dengan cara lebih berkelanjutan meski mungkin akan lebih mahal.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

IESR: Transisi Energi Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

IESR: Transisi Energi Jadi Kunci Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

LSM/Figur
Ekonomi Restoratif Dinilai Paling Tepat untuk Indonesia, Mengapa?

Ekonomi Restoratif Dinilai Paling Tepat untuk Indonesia, Mengapa?

LSM/Figur
Populasi Satwa Liar Global Turun Rata-rata 73 Persen dalam 50 Tahun

Populasi Satwa Liar Global Turun Rata-rata 73 Persen dalam 50 Tahun

LSM/Figur
Logam Berat di Lautan Jadi Lebih Beracun akibat Perubahan Iklim

Logam Berat di Lautan Jadi Lebih Beracun akibat Perubahan Iklim

Pemerintah
Tak Hanya Tekan Abrasi, Mangrove juga Turut Dorong Perputaran Ekonomi Masyarakat

Tak Hanya Tekan Abrasi, Mangrove juga Turut Dorong Perputaran Ekonomi Masyarakat

LSM/Figur
Konsumsi Daging Berkontribusi terhadap Kerusakan Lingkungan, Kok Bisa?

Konsumsi Daging Berkontribusi terhadap Kerusakan Lingkungan, Kok Bisa?

Pemerintah
Selenggarakan CSR Berkelanjutan, PT GNI Dapat Penghargaan di PKM CSR Award 2024

Selenggarakan CSR Berkelanjutan, PT GNI Dapat Penghargaan di PKM CSR Award 2024

Swasta
Kisah Warga Desa Mayangan yang Terancam Abrasi dan Inisiatif Kompas.com Tanam Mangrove

Kisah Warga Desa Mayangan yang Terancam Abrasi dan Inisiatif Kompas.com Tanam Mangrove

LSM/Figur
Langkah Hijau Kompas.com, Penanaman Mangrove untuk Selamatkan Pesisir Subang

Langkah Hijau Kompas.com, Penanaman Mangrove untuk Selamatkan Pesisir Subang

Swasta
Konsumen Bingung dengan Klaim Keberlanjutan pada Kemasan Produk

Konsumen Bingung dengan Klaim Keberlanjutan pada Kemasan Produk

Pemerintah
Pemanasan Global Picu Siklon dan Hujan Badai di Seluruh Asia

Pemanasan Global Picu Siklon dan Hujan Badai di Seluruh Asia

Pemerintah
Bank Tetap Biayai Investasi Batu Bara meski Ada Target Iklim

Bank Tetap Biayai Investasi Batu Bara meski Ada Target Iklim

Pemerintah
IEEFA Sebut 'Power Wheeling' Bisa Dorong Investasi Hijau

IEEFA Sebut "Power Wheeling" Bisa Dorong Investasi Hijau

LSM/Figur
Penerapan Karbon Dioksida Tak Lagi Berguna Jika Suhu Bumi Lampaui Batas

Penerapan Karbon Dioksida Tak Lagi Berguna Jika Suhu Bumi Lampaui Batas

Pemerintah
Dosen UI Teliti Limbah Plastik Jadi Penangkap Karbon Dioksida

Dosen UI Teliti Limbah Plastik Jadi Penangkap Karbon Dioksida

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau