KOMPAS.com - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Henni Widyastuti mengatakan, teknologi nuklir menawarkan tingkat akurasi dan ketepatan yang tinggi untuk mendeteksi pemalsuan pangan.
Peneliti Pusat Riset Teknologi Proses Radiasi BRIN tersebut menyampaikan, teknologi nuklir mampu menangkap perbedaan yang kecil di dalam komposisi kimia.
Henni berujar, saat ini pemalsuan pangan yang terjadi semakin canggih dan kompleks. Sehingga teknik-teknik tradisional yang mengandalkan indera manusia sudah tidak kompatibel lagi untuk digunakan.
Baca juga: Kekeringan Global Ancam Pasokan Pangan dan Produksi Energi
"Kadang untuk memperoleh akurasi yang tinggi dalam deteksi, kita bisa menggunakan dua atau lebih metode yang digabungkan satu sama lain agar hasilnya lebih baik. Beberapa jenis pemalsuan sangat sulit dideteksi karena kompleksitas faktor lingkungan atau jenis campuran yang mendekati bahan asli," kata Henni sebagaimana dilansir Antara, Jumat (4/10/2024).
Henni menjelaskan teknologi nuklir untuk mendeteksi pemalsuan pangan merupakan metode analisis yang memanfaatkan radiasi dan isotop dalam mengidentifikasi keaslian, asal-usul geografis, dan komposisi kimia pangan secara akurat tanpa merusak sampel.
Teknik-teknik ini mencakup pengujian isotop dan elemen pada pangan.
Pertama-tama, bahan pangan melewati uji analisis profil mineral dan analisis profil isotop. Selanjutnya, data yang didapatkan diolah menggunakan statistik atau kecerdasan buatan untuk memperoleh pola-pola tertentu dari profil mineral dan profil isotop yang disebut sebagai sidik jari isotop dan elemen pada produk.
Setiap material organik yang ada di alam pada dasarnya terkait dengan empat siklus, yaitu siklus oksigen, siklus karbon, siklus nitrogen, dan siklus hidrogen.
Baca juga: Tekan Stunting, Rajawali Nusindo Salurkan 438.000 Bantuan Pangan Pemerintah di NTT
Setiap siklus ini memiliki peranan penting dalam metabolisme tanaman, hewan, ataupun ekosistem perairan, yang membentuk rasio alami isotop dan mineral yang unik pada organisme. Rasio ini berfungsi seperti sidik jari yang ada pada manusia.
Dalam analisis profil isotop, jelas Henni, digunakan isotop stabil yang memang sudah ada di alam sebagai penjejak dari suatu bahan pangan yang ingin ditelusuri asal-usulnya.
Umumnya isotop-isotop yang digunakan itu adalah isotop elemen ringan meskipun dalam beberapa kasus juga digunakan isotop-isotop elemen berat seperti strontium dan lain-lain.
"Produk-produk hewan juga bisa terdeteksi isotop (selain tanaman). Kalau di ekosistem perairan, biasanya isotop digunakan untuk mengautentikasi produk-produk seperti ikan, udang, dan jenis-jenis mussel seperti oyster, dan lain-lain," kata dia.
Ia menjelaskan isotop stabil yang terkandung di dalam pangan memang memiliki kecenderungan untuk berubah bergantung kondisi lingkungan. Meski begitu, perubahan tersebut terjadi dalam rentang waktu yang lama hingga beberapa tahun.
Baca juga: Pemerintah Perlu Dorong Bahan Lokal untuk Ketahanan Pangan
"Jadi dia (teknologi nuklir yang menggunakan isotop stabil) relatif lebih stabil terhadap perubahan yang terjadi dalam waktu singkat. Ini yang menyebabkan keakurasiannya itu tinggi dibandingkan teknologi yang lain," ujar Henni.
Pengujian keaslian bahan atau produk pangan dengan menggunakan teknologi nuklir ini juga dipastikan aman, sebab hanya sedikit spesimen yang diambil dari sampel pangan. Proses pengujian keaslian pangan juga tidak memakan waktu yang lama.
Namun, menurut Henni, terdapat kelemahan dari teknologi nuklir ini mengingat instrumen atau alatnya yang berukuran besar dan tidak mudah untuk dipindah-pindahkan sehingga hanya tersedia di laboratorium.
Oleh sebab itu, dibutuhkan pengembangan teknologi pelengkap yang lebih portable sehingga lebih mudah dibawa ke manapun.
Baca juga: Bank Dunia Ingatkan Indonesia Berpotensi Hadapi Masalah Ketahanan Pangan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya