KOMPAS.com - Kemasan produk telah mengalami perubahan besar dalam beberapa dekade, salah satunya didorong oleh upaya dan undang-undang keberlanjutan.
Namun, perubahan itu tidak mudah dan sering kali memicu kebingungan bagi konsumen.
Hal ini disebabkan karena informasi berlimpah dan berbeda dari perusahaan pada kemasan produk yang mengirimkan pesan membingungkan.
Baca juga: Subsidi Hijau Miliki Biaya Tersembunyi yang ncam Keberhasilan Keberlanjutan
Sebagian dari masalahnya adalah kurangnya definisi tunggal untuk berkelanjutan baik itu dari perspektif merek maupun konsumen.
Para ahli pun menyebut sudah saatnya bagi industri untuk menjelaskan hal-hal terkait kemasan yang berkelanjutan itu.
Mengutip ESG Dive, Kamis (10/10/2024) Kasra Eskandari, associate director penjualan untuk kemasan di Nielsen IQ mengatakan perusahaan mencantumkan banyak sekali pesan berorientasi keberlanjutan yang berbeda pada kemasannya.
"Beberapa kategori memiliki jumlah klaim yang sangat banyak pada kemasannya dan terus bertambah," katanya.
Baca juga: Kemiskinan Naik di Daerah Tambang, Pertumbuhan Ekonomi Hanya di Atas Kertas
Itu sebenarnya sangat membingungkan bagi konsumen. Apa sebenarnya arti semua hal ini?
Kemasan bukanlah salah satu dampak terbesar terhadap jejak karbon perusahaan untuk sebagian besar produk, dibandingkan dengan rantai nilai lainnya.
Namun bukan itu kesan yang didapat konsumen. Apa yang dipahami konsumen adalah kemasan merupakan salah satu penyumbang besar jejak karbon perusahaan.
Ini yang akhirnya konsumen mulai makin fokus pada kemasan.
Misalnya saja soal istilah daur ulang pada kemasan. Menurut NielsenIQ, itu merupakan area yang membingungkan karena orang-orang memiliki persepsi berbeda tentang apa arti daur ulang atau dapat didaur ulang.
Selain itu juga kepercayaan konsumen terhadap daur ulang makin memudar.
Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap konsumen Amerika Serikat, sebanyak 32 persen responden tidak lagi percaya bahwa barang yang mereka masukkan ke tempat sampah daur ulang akan didaur ulang. Angka itu naik 14 persen dari empat tahun sebelumnya.
Baca juga: CFO Punya Peran Penting dalam Pelaporan Keberlanjutan di Asia Pasifik
Data NielsenIQ menyebut ada keinginan dari konsumen untuk hidup dengan cara yang lebih berkelanjutan. Dan sebanyak 69 persen mengatakan keberlanjutan menjadi lebih penting bagi mereka dalam dua tahun terakhir.
Namun informasi yang membingungkan atau tidak tersedia pada produk dapat menghambat tindakan mereka dalam pembelian produk dengan kemasan yang berkelanjutan.
Retail pun perlu membantu masyarakat dalam memilah semua klaim dengan cara yang jujur.
"Konsumen membutuhkan produsen untuk mendidik mereka tentang dampak produk mereka. Bahasa yang distandarisasi pada kemasan akan membantu," kata Eskandari.
Itu mungkin saja bisa terjadi seiring dengan diberlakukannya peraturan seperti tanggung jawab produsen yang diperluas.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya