SUBANG, KOMPAS.com - Desa Mayangan di Legonkulon, Subang, Jawa Barat, dulu dikenal sebagai desa tambak dengan kekayaan hasil ikan dan udang. Namun, sejak 2004, kondisi desa berubah drastis akibat rob berkepanjangan hingga menenggelamkan ratusan hektare lahan di desa tersebut.
Kepala Desa Mayangan, Darto mengatakan, sejak 2006 hingga 2009, abrasi parah terjadi dan banjir rob melanda rumah-rumah warga sehingga menyebabkan tambak dan lahan warga tenggelam.
"Akibat dampak dari rob yang tidak ada surutnya, mangrove yang tumbuh di sekitar tambak itu pada mati. Sekarang pun abrasinya itu sampai ke perbatasan pekarangan warga," ujar Darto saat ditemui di Desa Mayangan, Kamis (10/10/2024).
Baca juga: Langkah Hijau Kompas.com, Penanaman Mangrove untuk Selamatkan Pesisir Subang
Desa yang berada di pesisir utara Pulau Jawa dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa ini, kata dia, menjadikan tempatnya rentan dengan ancaman abrasi.
Banjir rob dan abrasi yang terjadi mampu memisahkan Desa Mayangan dan Pulau Burung, yang tadinya satu daratan, menjadi terpisah sekitar 1,5 kilometer.
Tak hanya itu, ia mengungkapkan, sangat besar dampak yang dirasakan masyarakat sekitar. Mulai dari rumah terendam banjir, kerugian sumber daya karena peralatan rumah tangga yang rusak, hilangnya hasil dari tambak, hingga rusaknya sawah yang berguna untuk pangan sehari-hari.
Kondisi tersebut mendorong warga Desa Mayangan untuk memulai inisiatif penanaman mangrove sejak tahun 2013.
Baca juga: Kepiluan Warga Pesisir Aceh Utara saat Abrasi Menerjang…
"Berawal dari 2013, kolaborasi tokoh masyarakat, salah satunya Abah Carwita. Terus kolaborasi sama mahasiswa Wanadri juga, dari 2013 sampai sekarang, korporasi dan lembaga terkait," imbuhnya.
Ia menjelaskan, saat itu, pihak sesepuh kampung berinisiatif melakukan penanaman mangrove, dengan tujuan untuk melindungi desa dari abrasi yang semakin parah.
"Mangrove itu ibarat benteng desa kami. Saat rob menabrak mangrove, dampaknya langsung berkurang dan tidak sampai ke pemukiman warga," ujar Kades Darto.
Hingga kini, menurutnya, sekitar 400 hektar hutan mangrove telah berhasil dipertahankan, meski masih ada sekitar 300 hektar yang belum tertanam kembali.
Baca juga: Kompas.com Ajak Korporasi Peduli Bumi Lewat Program Wali Asuh Mangrove
Kendati demikian, masih ada tantangan besar dalam penanaman mangrove seperti pertumbuhannya yang sangat lambat, hingga gangguan dari kepiting yang merusak tanaman.
Untuk mengatasinya, kata Darto, masyarakat secara rutin melakukan penyulaman, yaitu mengganti mangrove yang mati dengan yang baru. Secara rutin, komunitas kolaborator seperti Wanadri maupun warga sekitar melakukan pemeriksaan ke area mangrove.
"Jadi (mangrove) yang mati diganti, diganti yang baru. Terus seperti itu berkelanjutan. Biasanya dicek seminggu sekali, atau 10 hari sekali," terangnya.
Oleh karena itu, ia menjelaskan, program "Wali Asuh Mangrove" yang digagas Wanadri menjadi salah satu solusi tepat. Sebab, relawan yang menanam mangrove juga harus merawat dan melindungi tanaman tersebut selama dua tahun, sebelum bisa berdiri secara kuat.
Baca juga: Lewat Program SMART, CIFOR Restorasi Mangrove Sambil Berdayakan Masyarakat
Penanaman mangrove di Desa Mayangan, bisa menjdi contoh bagaimana kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan berbagai organisasi dapat berkontribusi dalam menjaga kelestarian lingkungan serta melindungi desa dari ancaman abrasi yang semakin parah.
"Makanya kami inisiatif mengajak semua pihak untuk nanam mangrove di desa kami. Karena harus banyak pihak yang terlibat di desa, khawatir desa kami nanti habis, mudah-mudahan terus berkelanjutan," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya