KOMPAS.com - Lembaga Thinktank Institute for Essential Services Reform (IESR), memandang percepatan transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan dapat mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Sebagai informasi, Presiden terpilih, Prabowo Subianto sebelumnya menargetkan pertumbuhan ekonomi meningkat hingga 8 persen di masa pemerintahannya.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengungkapkan untuk memenuhi komitmen Indonesia membatasi kenaikan suhu bumi di 1,5 derajat Celcius sesuai Perjanjian Paris, maka percepatan transisi energi sangat diperlukan.
Baca juga:
Menurutnya, peluang pertumbuhan ekonomi dari transisi energi dapat dicapai melalui tiga jalur pengembangan energi terbarukan.
“Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan transisi energi, dapat dilakukan dengan, pertama, diversifikasi industri energi bersih,” ujar Fabby dalam Webinar Road to Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024: Transisi Energi sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, pada Kamis (10/10/2024).
Menurutnya, pngembangan industri energi terbarukan akan merangsang sektor industri dengan menciptakan peluang rantai pasok dan manufaktur energi terbarukan, seperti sel dan modul surya, turbin angin dan komponen mobil listrik dan industri rantai pasoknya
"Kedua, pengembangan infrastruktur hijau yang dapat menarik investasi seperti pembangunan transmisi, jaringan pintar (smart grid), dan penyimpanan energi (energy storage)," tambah dia.
Ketiga, adalah pembangunan ekowisata yang ramah lingkungan, contohnya inisiatif Bali Net Zero Emission (NZE) 2045. Fabby menilai, jika berhasil menjadikan Bali sebagai Pulau Energi Terbarukan, bisa memberikan nilai tambah bagi pariwisata Bali.
Baca juga: Jokowi: Krisis Iklim Tak Selesai Jika Hanya Pakai Pendekatan Ekonomi
Lebih lanjut, Fabby mendorong pemerintah untuk melakukan setidaknya tiga reformasi kebijakan untuk membuka peluang investasi di energi terbarukan.
Pertama, reformasi subsidi energi fosil dan penetapan harga karbon, dengan menghapus subsidi energi fosil yang mendistorsi pasar dan menyulitkan energi terbarukan bersaing dan menetapkan kebijakan harga karbon yang efektif.
Kedua, reformasi pembiayaan infrastruktur, melalui penggunaan instrumen dana publik untuk menarik investasi, dan mengembangkan blended finance serta instrumen pendanaan hijau seperti green bond untuk mendukung proyek energi terbarukan dan efisiensi energi, serta mengoptimalkan dana iklim seperti pemanfaatan pajak karbon (carbon tax) untuk mendanai transisi energi.
"Ketiga, membangun kemitraan dan kerja sama internasional," kata Fabby.
Baca juga: Kolaborasi Pendidikan dan Industri, Kunci Hadapi Tantangan Green Jobs di Era Ekonomi Berkelanjutan
Menurutnya, sebagai negara ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia perlu memposisikan diri sebagai pemimpin dalam kemitraan energi bersih secara global maupun Asia Tenggara.
Indonesia juga harus bekerja sama dengan negara-negara yang menguasai teknologi energi bersih untuk mendorong alih teknologi dan pendanaan proyek energi bersih.
Lebih lanjut, IESR menekankan bahwa proses transisi energi harus adil dan inklusif, sehingga mempersempit kesenjangan pendapatan. Selain itu, manfaat transisi energi harus dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Koordinator Riset Sosial Kebijakan dan Ekonomi, IESR, Martha Jesica menegaskan bahwa pemerintah perlu merumuskan kebijakan fiskal yang mendukung ekonomi rendah karbon dan bermanfaat bagi perekonomian daerah.
Misalnya, melalui alokasi belanja pemerintah untuk program penyertaan modal badan usaha terkait energi terbarukan dan ekonomi hijau.
“Transisi energi yang adil erat kaitannya dengan partisipasi dan pelibatan masyarakat dengan program pembangunan ekonomi dan energi di sekitar mereka,” ujar Martha.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya