KOMPAS.com - Populasi satwa liar global telah anjlok rata-rata 73 persen dalam 50 tahun, menurut penilaian ilmiah baru.
Laporan Living Planet dua tahunan WWF dan Zoological Society of London (ZSL) mencatat Amerika Latin dan Karibia mengalami penurunan satwa liar rata-rata paling besar yakni 95 persen.
Disusul oleh Afrika (76 persen) dan Asia Pasifik (60 persen). Sementara Eropa dan Amerika Utara mengalami penurunan yang relatif rendah, masing-masing 35 persen dan 39 persen sejak 1970.
Baca juga:
Dikutip dari Guardian, Jumat (11/10/2024) ilmuwan memperingatkan penurunan tersebut dapat bertambah cepat di tahun-tahun mendatang karena pemanasan global meningkat.
"Kita sangat dekat dengan titik kritis hilangnya alam dan perubahan iklim. Namun kita tahu alam dapat pulih jika diberi kesempatan dan kita masih memiliki kesempatan untuk bertindak," ungkap Mattew Goud, kepala eksekutif ZSL.
Ilmuwan sendiri menyimpulkan temuan mereka dari Living Planet Index yang terdiri dari 35.000 tren populasi dari 5.495 spesies mamalia, burung, ikan, amfibi, dan reptil di seluruh dunia.
Indeks tersebut telah menjadi salah satu indikator utama status populasi satwa liar global.
"Pembobotan dari Living Planet Index tidaklah sempurna tetapi hingga kita memiliki pengambilan sampel keanekaragaman hayati secara sistematis di seluruh dunia, itu masih akan diperlukan," kata Hannah Wauchope, dosen ekologi di Universitas Edinburgh.
Ia menambahkan bahwa seiring dengan berlanjutnya perusakan habitat dan ancaman lain terhadap keanekaragaman hayati, penurunan akan terus terjadi.
Penurunan yang serupa juga terpapar dalam Daftar Merah IUCN, yang telah menilai kesehatan lebih dari 160.000 spesies tumbuhan dan hewan.
IUCN telah menemukan bahwa hampir sepertiganya berisiko punah. Dari yang dinilai, 41 persen amfibi, 26 persen mamalia, dan 34 persen pohon konifer berisiko punah.
Baca juga:
Perubahan tata guna lahan merupakan pendorong utama penurunan populasi satwa liar seiring meluasnya wilayah pertanian, yang sering kali mengorbankan ekosistem seperti hutan hujan tropis.
"Data yang kami miliki menunjukkan bahwa hilangnya habitat alami disebabkan oleh fragmentasi habitat alami. Apa yang kami lihat melalui angka-angka tersebut merupakan indikator perubahan yang lebih mendalam yang sedang terjadi di ekosistem alami kita," terang Mike Barrett, direktur sains dan konservasi di WWF Inggris.
"Ekosistem tersebut kehilangan ketahanan terhadap guncangan dan perubahan eksternal," tambahnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya