KOMPAS.com - Ilmuwan menyebut Bumi makin banyak menunjukkan tanda-tanda vital krisis iklim. Tanda-tanda itu bahkan mencapai rekor ekstrem.
Dari 35 penanda kesehatan planet yang teridentifikasi, sekarang 25 di antaranya berada pada level terburuk yang pernah tercatat. Temuan ini membuat pakar iklim mengkhawatirkan kemungkinan hancurnya masyarakat.
“Kita berada di ambang bencana iklim yang tidak dapat diubah,” tulis William Ripple dari Oregon State University dan rekan-rekannya sebagaimana dikutip dari Euro News, Sabtu (12/11/2024).
Baca juga: Separuh Penduduk Dunia Tak Punya Perlindungan Sosial di Tengah Krisis Iklim
“Ini adalah keadaan darurat global yang tidak diragukan lagi. Sebagian besar tatanan kehidupan di Bumi terancam,” lanjut dia.
Para ilmuwan tersebut memperingatkan ratusan juta atau bahkan miliaran orang akan mengungsi jika tanda-tanda tersebut terus berlanjut yang akhirnya mengarah pada ketidakstabilan geopolitik dan konflik yang lebih besar.
Sejak tahun lalu, gelombang panas telah menewaskan lebih dari seribu orang di Asia, dan perubahan iklim ini bakal menyebabkan jutaan kematian lagi di seluruh dunia pada 2050.
"Masa depan umat manusia tergantung pada keseimbangan," para ahli menekankan, dalam laporan iklim yang diterbitkan jurnal BioScience.
Perubahan iklim dapat berkontribusi pada keruntuhan dengan meningkatkan kemungkinan risiko bencana seperti konflik internasional atau dengan menyebabkan berbagai tekanan, yang mengakibatkan kegagalan di seluruh sistem.
“Krisis iklim bukanlah ancaman yang jauh, melainkan krisis yang terjadi saat ini,” kata Michael Mann dari University of Pennsylvania, melansir New Scientist.
Baca juga: IISF 2024, Menko Luhut Harap Anak Muda Semakin Sadar Krisis Iklim
Pada tahun 2024 beberapa indikator krisis iklim ini telah mencapai rekor tertinggi.
Beberapa tanda vital yang teridentifikasi itu termasuk suhu permukaan udara dan laut serta luas es laut yang meningkat, gejala penggunaan sumber daya yang berlebihan, konsentrasi CO2, metana, dan nitrogen oksida di atmosfer.
Begitu juga keasaman laut yang menyebabkan menurunnya kapasitas untuk menyerap gas yang memanaskan planet ini.
Selain itu juga indikator terlihat dari gletser dan tutupan hutan yang mencapai rekor terendah.
Ketebalan gletser rata-rata sekarang berada pada level terendah yang pernah ada, seperti halnya massa es Greenland dan Antartika.
Es benua yang mencair ini berkontribusi sekitar setengah dari kenaikan permukaan laut.
Deforestasi global juga telah menyebabkan hilangnya tutupan pohon yang mengakibatkan menurunnya kapasitas penyerapan karbon oleh hutan yang menjadi penyerap karbon terbesar kedua di dunia setelah lautan.
Baca juga: PBB: Penerapan Teknologi dan AI Bantu Atasi Krisis Iklim
Meskipun penggundulan hutan di Amazon telah melambat di bawah pemerintahan baru Brasil, "paru-paru bumi" mungkin masih mendekati titik kritis.
Mencairnya permafrost atau tanah beku juga menjadi salah satu indikator. Permafrost yang mencair itu sendiri disebabkan oleh meningkatnya suhu, melepaskan lebih banyak CO2 dan metana, yang menyebabkan pemanasan lebih lanjut.
Rekor ekstrem tersebut menurut peneliti terjadi kurangnya langkah-langkah yang memadai untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius sejak tingkat pra-industri, seperti yang disepakati dalam perjanjian iklim Paris 2015.
“Saat ini kita sedang menuju ke arah yang salah dan meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil serta emisi GRK mendorong kita menuju bencana iklim,” tulis para ilmuwan.
Baca juga: Kota Super Megah yang Kalah oleh Krisis Iklim
Ilmuwan pun mendesak pengurangan bahan bakar fosil dan mendorong upaya transformatif untuk beradaptasi untuk memperlambat pemanasan global dalam waktu dekat.
"Menghindari setiap sepersepuluh derajat pemanasan sangatlah penting”, simpul para ahli.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya