KOMPAS.com-Organisasi Meterologi Dunia (WMO) PBB menyebutkan teknologi baru dan kecerdasan buatan (AI) dapat membantu dalam penerapan tindakan drastis yang diperlukan untuk mengatasi krisis iklim.
Menurut Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo, potensi ilmu pengetahuan alam dan sosial yang belum dimanfaatkan, teknologi baru, dan inovasi dapat berguna bagi negara berkembang serta mengurangi kerentanan terhadap bencana termasuk beradaptasi dengan perubahan iklim.
Mengutip laman resmi United Nation, Selasa (24/9/2024) AI dan pembelajaran mesin telah merevolusi ilmu prakiraan cuaca dengan membuatnya lebih cepat, murah, dan mudah diakses.
Baca juga: AI Bisa Tekan Emisi Karbon dan Tingkatkan Keuntungan Perusahaan, Bagaimana Caranya?
Teknologi satelit mutakhir dan simulasi realitas virtual juga telah membuka batas baru di sektor-sektor utama yang telah terancam oleh perubahan iklim dan cuaca seperti pengelolaan lahan dan air.
Ini termasuk inovasi dalam pengamatan Bumi berbasis ruang angkasa yang telah membantu meningkatkan pemantauan sumber gas rumah kaca dan penyerap karbon.
Namun Saulo menegaskan bahwa teknologi saja tidak akan cukup untuk mengatasi perubahan iklim. Oleh karena itu ia mendesak semua negara untuk berbagi keahlian dan pengalaman mereka untuk memastikan manfaat sains dan teknologi dapat diakses oleh semua orang demi mencapai tujuan global.
Tujuan-tujuan ini mencakup Perjanjian Paris, Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana, dan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Menurut laporan dari United in Science 2024, ada peluang 86 persen bahwa setidaknya satu tahun dalam lima tahun ke depan akan melampaui 2023 sebagai tahun terhangat yang pernah tercatat.
Ada juga peluang 80 persen suhu permukaan rata-rata global sementara akan melampaui 1,5C di atas tingkat pra-industri setidaknya dalam satu dari lima tahun ke depan.
Jika tidak ada perubahan pada kebijakan saat ini, ada kemungkinan 66 persen bahwa pemanasan global akan mencapai 3C pada abad ini.
Baca juga: Indonesia Darurat Krisis Iklim, Green Jobs Jadi Kunci
"Untuk mencapai tingkat yang konsisten dengan pembatasan pemanasan global di bawah 2C dan 1,5C, emisi gas rumah kaca global pada tahun 2030 harus dikurangi masing-masing sebesar 28 persen dan 42 persen, dari tingkat emisi yang diproyeksikan akan dihasilkan oleh kebijakan saat ini," tulis laporan tersebut.
Saulo menambahkan krisis iklim tersebut akan menimbulkan malapetaka bagi kehidupan dan ekonomi manusia.
Untuk mengatasi itu, ia mengimbau tindakan yang mendesak dan ambisius yang mendukung pembangunan berkelanjutan, aksi iklim, dan pengurangan risiko bencana.
"Keputusan yang kita buat hari ini dapat menjadi pembeda antara kehancuran di masa depan atau terobosan menuju dunia yang lebih baik," katanya.
"Kita masih jauh dari jalur untuk mencapai tujuan iklim global. 2023 adalah tahun terhangat yang pernah tercatat dan Kumpulan data internasional terkemuka mengatakan bahwa delapan bulan pertama tahun 2024 juga merupakan yang terhangat yang pernah tercatat," papar Saulo.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya