KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudistira mengatakan, Indonesia sudah saatnya menerapkan ekonomi restoratif.
Pendekatan tersebut perlu dilakukan dalam upaya memberikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan.
"Sudah saatnya Indonesia menemukan kekuatannya sendiri, tanpa mengikuti model ekonomi mainstream," kata Bhima dalam diskusi bertajuk Ekonomi Era Krisis Iklim dan peluncuran buku Saatnya Ekonomi Restoratif.
Baca juga: Di Masa Depan, Peluang Pekerjaan Berbasis Kelestarian Lingkungan Sangat Besar
Bhima dalam mengatakan, model ekonomi Indonesia yang terbukti berhasil tahan terhadap krisis, seperti krisis moneter 1998 dan pandemi Covid-19, adalah ekonomi yang tumbuh dari masyarakat lokal dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Itulah wujud ekonomi yang tak hanya memeratakan kesejahteraan, tapi juga memulihkan alam karena menghindar dari upaya-upaya ekstraksi besar-besaran seperti penambangan dan perkebunan monokultur yang masif.
Celios sendiri mendefinisikan ekonomi restoratif sebagai model ekonomi yang bertujuan memulihkan ekosistem terdegradasi untuk mendapatkan kembali fungsi ekologis dan menyediakan barang serta jasa yang bernilai bagi masyarakat.
"Kalau pemerintah tidak akui ini model ekonomi yang Indonesia banget dan terbukti, inilah kerugian kita," ucap Bhima, sebagaimana dilansir Antara, Jumat (11/10/2024).
Baca juga: Konsumsi Daging Berkontribusi terhadap Kerusakan Lingkungan, Kok Bisa?
Diskusi ini merupakan kolaborasi antara Celios, platform LaporIklim, radio jaringan KBR, sejumlah penulis independen dan beberapa lembaga pendukung, yakni Econusa, Lingkar Temu Kabupaten Lestari, Koalisi Ekonomi Membumi, Traction Energi Asia, Iklimku.org, dan Yayasan Bambu Lestari.
Dalam kesempatan tersebut, Bhima turut mempertanyakan model ekonomi ekstraktif yang dianggap solutif oleh sebagian pihak.
Menurut hasil penelitian Celios, desa yang memiliki basis pendapatan ekstraktif dari penambangan misalnya, cenderung susah mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Lebih parah lagi, ketergantungan pada komoditas seperti nikel dan batu bara, yang harganya fluktuatif dan cenderung terus menurun, membuat ekonomi Indonesia rentan dikendalikan oleh eksternal.
Baca juga: Konservasi Lingkungan Berpotensi Tingkatkan 10 Persen Populasi Ikan di Terumbu Karang
Bhima menilai, ekonomi ekstraktif tidak hanya destruktif, tetapi juga merusak lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat.
Pengamat ekonomi Harryadin Mahardika menjelaskan, Indonesia masih menghadapi dilema dalam memilih model ekonomi.
Indonesia ingin industrialisasi, tetapi kenyataannya tidak mudah karena sudah tertinggal dari efisiensi industri China, India, atau Vietnam.
Karena itu, Indonesia saat ini tampak mengejar kekayaan dengan strategi ekstraksi sumber daya dan hilirisasi.
Baca juga: Konservasi Lingkungan Berpotensi Tingkatkan 10 Persen Populasi Ikan di Terumbu Karang
Menurut dia, ini adalah langkah pragmatis tapi realistis dari pemerintahan Presiden Joko Widodo yang segera berlalu.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Walhi Ully Artha Siagian menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia, ekonomi, dan lingkungan.
Untuk membangun ekonomi restoratif dan ekonomi nusantara yang berkelanjutan, Ully menekankan perlunya mengkritisi model ekonomi ekstraktif dan kapitalistik yang berlaku saat ini.
Berdasarkan riset Walhi tahun 2019-2020, ekonomi masyarakat tetap kuat ketika lingkungannya terjaga, termasuk di kawasan gambut, dataran tinggi, dan pesisir.
Baca juga: Produsen Farmasi di Cikampek Luncurkan Cairan Infus Ramah Lingkungan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya