KOMPAS.com - Di daerah rawan kebakaran hutan, air bukan satu-satunya hal yang digunakan untuk memadamkan api. Petugas pemadam kebakaran hutan juga memakai pemadam kimia atau sintetis.
Namun apakah pemadam buatan tersebut aman atau justru malah berdampak buruk bagi lingkungan? Peneliti dari University of Southern California, California pun berusaha mencari tahu jawabannya.
Mengutip Phys, Kamis (31/1/2024) seiringnya intensitas kebakaran hutan yang makin sering terjadi, tidak hanya perlu volume air yang lebih besar untuk memadamkannya.
Kebakaran hutan juga memerlukan bahan kimia dan sintetis yang disemprotkan dari tanah maupun dijatuhkan dari udara untuk membantu proses pemadaman.
Baca juga:
Produk pemadam kebakaran hutan, yang dimaksudkan untuk menghambat aktivitas kebakaran sebelum dan setelah air menguap, meliputi penghambat api, penambah air, dan busa.
Akan tetapi peneliti pun bertanya-tanya apakah bahan pemadam tersebut mengandung logam dan dapat mencemari lingkungan.
Pasalnya, menurut mereka terkadang kadar logam yang berpotensi beracun ditemukan di perairan atau tanah setelah kebakaran hutan dipadamkan.
"Kebakaran hutan dikaitkan dengan pelepasan logam berat beracun ke lingkungan, hingga saat ini logam itu diasumsikan berasal dari sumber alami seperti tanah," ungkap McCurry, peneliti utama studi ini.
Para peneliti kemudian menguji sampel dari 14 produk pemadam kebakaran yang dijual oleh pengecer komersial.
Mereka menganalisis sampel untuk 10 logam yang diketahui beracun atau diatur oleh Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA).
Ternyata, setiap produk mengandung setidaknya satu logam dengan konsentrasi yang melebihi peraturan Tingkat Kontaminan Maksimum EPA untuk air minum.
"Kami sekarang tahu bahwa penghambat api dapat berkontribusi terhadap pelepasan logam ini," papar McCurry.
Secara khusus, dua produk pencegah kebakaran yang diklasifikasikan sebagai penghambat api mengandung delapan logam (kromium, kadmium, arsenik, timbal, vanadium, mangan, antimon, dan talium) yang jauh melampaui peraturan air minum EPA.
Baca juga:
Para peneliti menyebut temuan ini menunjukkan bahwa penghambat api berpotensi untuk mencemari lingkungan perairan termasuk air minum, jika produk ini memasuki badan air.
Apalagi penggunaan pemadam air ini kian meningkat. Peneliti menentukan bahwa jumlah total logam yang digunakan bervariasi dari tahun ke tahun, tetapi umumnya meningkat seiring waktu.
Contohnya saja, volume penghambat api yang dijatuhkan pada kebakaran hutan di Amerika Serikat antara tahun 2009 hingga 2021.
Peneliti memperkirakan untuk satu kebakaran hutan California Selatan, terdapat peningkatan konsentrasi kadmium di sungai terdekat yang berasal dari 31 persen penghambat api yang digunakan memadamkan kebakaran.
Baca juga: Menuju Berkelanjtan, Industri Perlu Audit Pemantauan Karbon
Mereka mengatakan hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas pemadaman kebakaran dapat menyebabkan meningkatnya kadar logam di lingkungan.
Namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan potensi risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya