KOMPAS.com - Sejumlah organisasi mayarakat sipil Indonesia menyerukan pentingnya perlindungan terhadap alam dan keanekaragaman hayati Indonesia yang semakin terancam oleh ekspansi tambang nikel.
Seruan tersebut dikemukakan dalam KTT Keanekaragaman Hayati COP16 di Cali, Kolombia, yang berlangsung sejak 21 Oktober sampai 2 November.
Isu mengenai tambang mineral penting menjadi diskursus hangat dalam COP16. Pasalnya, tambang berpotensi tinggi mengancam integritas ekosistem, keanekaragaman hayati, dan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal di negara-negara produsen.
Baca juga: Serukan Hidup Selaras, 20 Negara Bentuk Koalisi Alam dalam COP16
Direktur Eksekutif Auriga Nusantara Timer Manurung mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatasi produksi nikel karena dampak negatifnya terhadap keanekaragaman hayati mengingat deposit nikel di Indonesia yang mencapai luasan 3,1 juta hektare terkonsentrasi di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Saat ini, terdapat hampir 1 juta hektare konsesi tambang nikel di Indonesia. Dari angka tersebut, 66 persen atau sekitar 0,64 juta hektare merupakan tutupan hutan alam.
Dia berujar, hampir 80 persen atau 2,5 juta hektare wilayah deposit nikel di Indonesia yang terkonsentrasi di wilayah timur merupakan kawasan yang kaya akan hutan dan keanekaragaman hayati, serta berada di dalam wilayah adat.
Wilayah tersebut juga merupakan rumah bagi setidaknya 18 spesies ikonik, yang keberadaannya terancam akibat ekspansi tambang nikel.
"Untuk itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk menetapkan 'No Go Zone' di area-area yang memiliki peran penting pada keanekaragaman hayati dan penanggulangan perubahan iklim," ujar Timer dikutup dari keterangan tertulis, Kamis (31/10/2024).
Baca juga: KTT Keanekaragaman Hayati COP16 Bakal Tunjukkan Penjaga Biodiversitas Sebenarnya
Timer juga menekankan Pemerintah Indonesia untuk menetapkan kuota bagi ekspansi tambang nikel yang bisa dilakukan diluar "No Go Zone" untuk mencegah kerusakan ekosistem yang lebih buruk.
Timer memaparkan, selain mengancam keanekaragaman hayati dan integritas ekosistem, pertambangan nikel juga mengancam kehidupan masyarakat adat.
Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting mencontohkan, di Morowali, Sulawesi Tengah, masyarakat Taa (Wana) telah menggunakan berbagai jenis kayu, seperti kayu bitti (Vitex cofassus), damar (Agathis alba), dan kumea (Manilkara celebica) selama berabad-abad sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Namun, keberlanjutan sumber daya ini kini terancam oleh dampak tambang nikel yang masif.
"Pengolahan nikel menggunakan energi dari batu bara juga berdampak negatif pada keragaman hayati Pulau Kalimantan. Karenanya perlu pembatasan produksi nikel sesuai dengan daya dukung energi terbarukan agar target aksi iklim dan keragaman hayati dapat tercapai" tutur Pius.
Forest Watch Indonesia (FWI) juga menemukan bahwa industri nikel memiliki kaitan erat dengan penderitaan masyarakat adat, mulai dari dampak lingkungan seperti banjir hingga hilangnya akses masyarakat adat terhadap wilayahnya.
"Penambangan yang bertanggung jawab, mengikuti standarisasi yang sudah ada termasuk FPIC, merupakan bagian penting dari implementasi Kesepakatan Global Keanekaragaman Hayati atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF)," tutur Ogy Dwi Aulia dari FWI.
Program Officer Hutan dan Iklim dari Yayasan MADANI Berkelanjutan Salma Zakiyah menyatakan, agenda transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim global tidak boleh merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Target 8 KM-GBF mencakup mandat untuk meminimalkan dampak aksi iklim terhadap keanekaragaman hayati.
Oleh karenanya, Indonesia harus menyelaraskan kebijakan iklim dengan kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk harmonisasi Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) dengan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP).
Baca juga: Mengenal KTT Keanekaragaman Hayati COP16 dan Urgensinya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya