KOMPAS.com - Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyebut, biodiesel B100 akan diterapkan secara bertahap.
Untuk saat ini, Eniya menuturkan kementerian mengatakan tengah fokus mempersiapkan B40 yang rencananya diterapkan mulai 1 Januari 2025.
Untuk merealisasikan target tersebut dibutuhkan tambahan minyak sawit mentah atau CPO sebanyak 1 juta liter.
Baca juga: Prabowo Mau Wujudkan Bahan Bakar B100, Menteri ESDM: Perlu Penelitian, Kita Baru B35
"Jadi untuk yang misalnya B50, B60, atau B100 itu sebetulnya secara teoritis, mesinnya bisa, tetapi mesin-mesin tertentu," kata Eniya usai menghadiri Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 di Jakarta, sebagaimana dilansir Antara, Senin (4/11/2024).
Ia menambahkan, pengembangan B50 sampai dengan B100 perlu pengujian ketat lebih dahulu.
"Menguji dulu itu pakai engine statis yang ada di sana. Ini tim Lemigas sama tim BRIN lagi menguji itu," ujarnya.
Adapun pada Minggu (3/11), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan pihaknya sedang menyiapkan rancangan konsep pengembangan B100 sebagai salah satu upaya mewujudkan swasembada energi.
Baca juga: Pertamina Targetkan Mulai Produksi Biodiesel B100 di 2021
"Salah satu rancangan yang dilakukan adalah mempersiapkan semua konsep sampai dengan B100, tapi sudah tentu itu bertahap, nanti kami laporkan (perkembangannya)," ujar Bahlil.
Saat ini produk biodiesel yang wajib digunakan di Indonesia adalah B35, yakni campuran 35 persen fatty acid methyl esters (FAME) dari minyak sawit dan 65 persen BBM diesel jenis solar, yang penerapannya dimulai pada 1 Februari 2023.
Sementara untuk produk B40 siap digunakan dan program penggunaan wajib B40 siap diimplementasikan pada 1 Januari 2025.
"Insyaallah (diimplementasikan 1 Januari 2025), (produk B40) sudah selesai dites dan siap implementasinya," ucap Bahlil.
Baca juga: Soal Tes Jalan Bahan Bakar B100, Ini Jawaban Kementerian Pertanian
Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Sabarudin menyatakan, program biodiesel yang diluncurkan pada 2015 belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi petani kelapa sawit.
Meskipun tujuan awal program ini adalah untuk kesejahteraan petani melalui kemitraan dengan perusahaan pemilik biodiesel, namun hingga saat ini kemitraan tersebut dinilai belum terealisasi secara merata.
"Program biodiesel ini sudah berjalan cukup lama sejak 2015, namun kemitraan antara petani dan perusahaan biodiesel masih jauh dari harapan," kata Sabarudin dalam diskusi Biodiesel "Mewujudkan Kemitraan Petani Dan Industri Biodiesel Dalam Pengembangan Biodiesel Sawit Untuk Kesejahteraan Petani Sawit" di Jakarta, sebagaimana dilansir Antara, Kamis (24/10/2024).
Di Riau, yang merupakan daerah dengan industri biodiesel di lima kabupaten, petani belum menikmati hasil dari kemitraan tersebut. Petani masih menjual sawit mereka melalui tengkulak, bukan langsung ke perusahaan biodiesel.
Sebab itu, SPKS menekankan pentingnya adanya peraturan yang mewajibkan perusahaan biodiesel bermitra dengan petani, terutama di wilayah konsesi perusahaan.
"Ke depan, pengembangan biodiesel harus melibatkan petani secara lebih intensif agar dampaknya benar-benar dirasakan," katanya.
Baca juga: Pengujian B100 Oleh Kementan Tanpa Melibatkan ATPM Mobil
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya