KOMPAS.com - Laporan Badan Energi Internasional 2024 mengungkapkan lebih dari 60 persen energi global berasal dari bahan bakar fosil.
Negara-negara ekonomi utama seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang bergantung pada bahan bakar fosil untuk lebih dari setengah pasokan energi mereka.
Namun, situasinya bahkan lebih buruk di Asia Tenggara yang pasokan energinya didominasi (80 persen) oleh sumber daya yang terbatas tersebut.
Baca juga: Big Tech Beralih ke Energi Nuklir untuk Penuhi Teknologi AI
Skenario yang mengkhawatirkan ini tentu memerlukan tindakan segera untuk mencegah krisis energi di masa mendatang serta dampak iklim yang merugikan.
Salah satunya solusi permasalahan tersebut adalah dengan mempersiapkan sumber energi terbarukan.
Akan tetapi masih ada permasalahan lain jika penggunaan energi terbarukan makin meningkat jumlahnya.
Baca juga: Investasi Energi Bersih Global Lebih Tinggi dari Bahan Bakar Fosil
Meski berlimpah dan bersih, pemanfaatan energi terbarukan seperti energi dan angin menghadapi persoalan yakni stabilitas jaringan dan juga keterbatasan produksi yang membuatnya tidak bisa menghasilkan energi secara tetap.
Mengutip Business Times, Rabu (20/11/2024) sistem penyimpanan energi baterai (BESS) pun menawarkan solusi serbaguna dan efisien untuk menjembatani kesenjangan antara produksi dan konsumsi energi.
BESS mampu melengkapi dan memastikan pasokan daya dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya.
Gambarannya seperti ini, pada siang hari, ketika produksi energi surya mencapai puncaknya, kelebihan energi yang dihasilkan disimpan dalam baterai untuk digunakan nanti.
Setelah baterai penuh, kelebihan energi dijual kembali ke jaringan listrik.
Energi yang tersimpan ini kemudian dapat digunakan selama periode pembangkitan tenaga surya rendah atau permintaan tinggi, yang secara efektif menyeimbangkan jaringan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Lantas, ketika energi baterai habis, itu akan dipasok dari jaringan listrik.
BESS juga dapat menyediakan pasokan energi yang stabil dan konsisten meskipun terjadi gangguan atau pemadaman.
Bagi bisnis, terutama yang telah berinvestasi dalam energi surya, BESS membantu mengoptimalkan penggunaan energi, mengurangi biaya, dan meningkatkan upaya keberlanjutan.
Baca juga: Bahan Bakar Fosil dan Pertanian Kuras Dana Publik Negara Terdampak Perubahan Iklim
Asia Tenggara merupakan kawasan yang secara historis bergantung pada bahan bakar fosil impor.
Nah, pemanfaatan BESS ini kemudian dapat menawarkan model energi terdesentralisasi yang memberdayakan negara-negara untuk memanfaatkan sumber daya terbarukan mereka yang melimpah.
Bisa dikatakan, BESS menghadirkan peluang bagi Asia Tenggara untuk melampaui keterbatasan infrastruktur energi tradisional dan merangkul masa depan energi yang berkelanjutan.
Saat kawasan tersebut bergulat dengan urbanisasi dan industrialisasi yang cepat, BESS pun memungkinkan solusi energi modular yang dapat diskalakan yang dengan cepat beradaptasi dengan kebutuhan yang terus berkembang.
Baca juga: Desentralisasi Energi Baru Terbarukan di Desa
Dengan kata lain, melengkapi sistem infrastruktur lama dengan teknologi BESS akan memperkuat ketahanan dan mengurangi kerentanan negara Asia Tenggara terhadap energi sekaligus menyelaraskan dengan tujuan pengurangan emisi karbon.
Namun tentu saja perlu kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat supaya mempercepat adopsi BESS melalui inovasi, investasi, dan berbagi pengetahuan, yang mendorong masa depan energi yang lebih bersih dan inklusif.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya