KOMPAS.com - Setiap tahun miliaran kendaraan di seluruh dunia diperkirakan melepaskan sekitar 6 juta ton serpihan mikroplastik yang berasal dari ban aus. Partikel ban tersebut akhirnya terkumpul di tanah, sungai, danau dan bahkan di makanan yang dikonsumsi.
Dikutip dari Science Alert, Rabu (4/12/2024) partikel ban ini merupakan kontributor polusi mikroplastik yang signifikan tetapi sering kali diabaikan. Partikel tersebut menyumbang 28 persen mikroplastik yang memasuki lingkungan secara global.
Terlepas dari skala masalah tersebut, partikel ban tidak banyak mendapat perhatikan. Partikel ban juga sering kali disamakan dengan mikroplastik lainnya serta jarang diperlakukan sebagai kategori polusi yang berbeda.
Baca juga:
Padahal karakteristiknya yang unik menuntut pendekatan yang berbeda. Sehingg menurut Henry Obanya, peneliti dari University of Portsmouth, Inggris, perlu untuk mengklasifikasikan partikel ban sebagai kategori polusi yang unik.
Pendekatan ini akan mendorong penelitian yang lebih terfokus yang dapat menginformasikan kebijakan yang secara khusus dirancang untuk mengurangi polusi ban.
Partikel ban biasanya terbuat dari campuran kompleks karet sintetis dan karet alam beserta dengan ratusan bahan tambahan kimia lainnya. Ini memunculkan konsekuensi dari polusi ban bisa tidak terduga dan berdampak luas.
Misalnya, seng oksida menyumbang sekitar 0,7 persen dari berat ban. Meskipun penting untuk membuat ban lebih tahan lama, seng oksida sangat beracun bagi ikan dan kehidupan akuatik lainnya dan mengganggu ekosistem bahkan dalam jumlah sedikit.
Bahan tambahan berbahaya lainnya adalah bahan kimia yang dikenal sebagai 6PPD, yang melindungi ban dari retak. Saat terkena udara dan air, zat ini berubah menjadi 6PPD-quinone.
Kendaraan yang lebih berat termasuk mobil listrik (yang memiliki baterai yang sangat berat), bannya lebih cepat aus dan menghasilkan lebih banyak partikel mikroplastik.
Pakar industri mobil Nick Molden dan Felix Leach mengatakan karena berat kendaraan berpengaruh pada dampak lingkungan, produsen pun harus dikenakan pajak berdasarkan prinsip "pencemar yang membayar".
Hal ini dapat mendorong desain kendaraan yang lebih ringan sekaligus memotivasi konsumen untuk membuat pilihan yang lebih ramah lingkungan.
Baca juga:
Lebih lanjut, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai polusi ban ini.
Misalnya peneliti sendiri belum tahu seberapa jauh partikel ban ini menyebar atau di mana tepatnya partikel tersebut terakumulasi.
Untuk menilai dampak ekologis secara menyeluruh, perlu informasi yang lebih rinci tentang ban mana yang paling beracun, bagaimana zat tersebut berperilaku di lingkungan, dan spesies mana yang paling berisiko.
Dalam jangka panjang, metode standar akan sangat penting untuk mengukur partikel ban dan membuat peraturan yang efektif.
Selain itu juga perlu tindakan global untuk mengendalikan emisi ban serta langkah-langkah tambahan lainnya.
Contohnya, inovasi dalam desain ban yang ramah lingkungan sehingga secara signifikan dapat mengurangi kerusakan lingkungan.
Jika tidak, dengan lebih dari 2 miliar ban yang diproduksi setiap tahun serta mobil yang semakin berat dan semakin banyak jumlahnya, masalah ini akan meningkat.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya