Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Bencana Hidrometeorologi yang Makin Mencemaskan

Kompas.com - 09/12/2024, 06:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP memasuki musim hujan antara November hingga Februari tahun berikutnya, sudah menjadi rutinitas di Indonesia terjadi bencana hidrometeorologi berupa banjir, tanah longsor, dan banjir bandang.

Namun, banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada Rabu 4 Desember 2024, bukan peristiwa biasa.

Setelah Sungai Cikaso meluap; rumah-rumah terendam dan mobil-mobil hanyut diterjang air di Kecamatan Sagaranten.

Selain mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor, curah hujan tinggi juga membuat ruas jalan penghubung antarkecamatan di Kabupaten Sukabumi amblas akibat pergerakan tanah.

Kondisi jalan mengalami kerusakan cukup parah hingga tak bisa dilalui kendaraan roda empat dan hanya bisa dilalui sepeda motor.

Kejadian ini membuat distribusi bantuan logistik terkendala akses jalan. Banjir ini juga memyebabkan jembatan terputus di beberapa titik di wilayah Kabupaten Sukabumi.

Belum habis keprihatinan kita tentang banjir bandang di Sukabumi, kita dikejutkan lagi banjir dahsyat di Kota Madiun, Sabtu, 7 Desember 2024.

Pertanyaannya adalah, apa yang sedang terjadi dengan alam lingkungan kita? Perubahan iklim yang makin meningkat menuju krisis iklim?

Perubahan bentang darat yang makin masif (alih fungsi lahan) untuk pembangunan yang makin meningkat? Atau karena faktor lain?

Sementara ini kita sepakat bahwa bencana yang makin masif dan mencemaskan ini salah satunya akibat curah hujan yang intensitasnya tinggi dan berlangsung cukup lama dan tidak terputus.

Hal itu menyebabkan debit dan limpasan air meningkat menjadi besar di atas batas toleransi sehingga sistem (ekosistem) hidrologi yang ada tidak mampu lagi mendukung dan menampungnya.

Namun, ada faktor lain, yakni kerusakan alam.

Memahami bencana hidrometeorologi

Bencana hidrometeorologi yang biasa terjadi di Indonesia, yakni banjir, banjir bandang dan tanah longsor. Indikator bencana tersebut jelas dan dapat diukur.

Banjir, misalnya, akibat debit air maksimum pada saat musim hujan dan debit air minimum pada sungai utama saat musim kemarau rasionya sangat ekstrem.

Dalam ilmu hidrologi (tata air), yang dimaksud dengan banjir adalah apabila debit air maksimum dibanding debit air minimum rasionya minimal 40. Makin besar rasionya dari 40, maka makin besar pula skala dan intensitas banjirnya.

Sebenarnya siklus air dalam sistem hidrologi telah diatur Tuhan dan mengikuti mekanisme alam secara baik.

Secara alami, air tawar yang jumlahnya 2,5 persen total air yang ada di planet ini berasal dari air hujan, yang masuk ke permukaan, masuk ke dalam tanah, atau mengalir melalui sungai.

Air hujan yang masuk dalam wilayah tangkapan air di sebuah daerah aliran sungai (DAS) ditangkap oleh hutan lalu dialirkan masuk ke dalam tanah dan dialirkan kesungai utama menuju kedaerah hilir dan masuk kelaut.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau