KOMPAS.com - Sidang bersejarah di Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) telah berakhir. Persidangan ini akan memutuskan perselisihan terkait tanggung jawab negara-negara atas perubahan iklim.
Mengutip Reuters, Rabu (18/12/2024), selama dua pekan negara-negara kepulauan kecil yang rentan terhadap dampak perubahan iklim mendesak negara kaya mengatasi kerusakan alam yang ditimbulkan.
Sementara perwakilan negara-negara kaya menilai, Perjanjian Paris harus menjadi dasar untuk memutuskan tanggung jawab tersebut.
Baca juga: Bagaimana Olahraga Musim Dingin Beradaptasi dengan Perubahan Iklim?
"Kita sudah banyak mendengar tentang Perjanjian Paris sebagai solusinya, tetapi alasan mengapa negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim harus menghadapi pengadilan adalah karena Perjanjian Paris telah gagal," ujar pengacara yang mewakili negara kepulauan Payam Akhavan.
Dia menjelaskan, negara-negara berkembang dan negara kepulauan kecil berupaya menekan emisi. Karenanya, mereka juga ingin mengatur dukungan finansial dari negara-negara kaya penghasil polusi.
Adapun keputusan ICJ diumumkan pada 2025, dan dapat menjadi panduan bagi setiap negara dalam menghadapi krisis iklim.
Hampir 100 negara dan organisasi terlibat dalam sidang tersebut Negara kepulauan kecil menjadi pelopor upaya agar Majelis Umum PBB meminta pendapat penasihat dari ICJ.
Pengadilan PBB ini juga akan menentukan apakah negara-negara besar yang paling berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca, harus bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan pada negara-negara kepulauan kecil.
Pendapat ICJ sendiri tidak mengikat, namun memiliki bobot hukum dan politik. Para ahli menyebut, pendapat pengadilan tentang perubahan iklim dapat menjadi preseden dalam gugatan hukum terkait perubahan iklim di pengadilan dari Eropa hingga Amerika Latin dan sekitarnya.
Baca juga: Harga Bahan Makan di RI Diprediksi Naik 59 Persen karena Perubahan Iklim
"Kekuatan opini ICJ tidak hanya terletak pada penegakannya secara langsung, tetapi juga pada pesan dan panduan yang jelas yang akan dikirimkannya ke banyak pengadilan di seluruh dunia yang tengah berseteru soal penanganan darurat iklim dan perbaikannya," ucap Direktur Program Iklim & Energi di Pusat Hukum Lingkungan Internasional Nikki Reisch.
Di sisi lain, negara penghasil emisi terbesar di dunia yanni Amerika Serikat dan China, bersama dengan Arab Saudi serta beberapa anggota Uni Eropa berpendapat bahwa perjanjian dari negosiasi perubahan iklim PBB yang sebagian besar tidak mengikat, harus menjadi tolok ukur dalam menentukan kewajiban negara.
"Chiba berharap pengadilan akan menegakkan mekanisme negosiasi perubahan iklim PBB sebagai saluran utama untuk tata kelola iklim global," tutur Penasihat Hukum Kementerian Luar Negeri China Ma Xinmin.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya