Pengelolaan kekayaan mineral Indonesia telah menjadi agenda strategis sejak berdirinya negara ini.
Tiap rezim pemerintahan menciptakan kebijakan berbeda untuk memanfaatkan sumber daya nasional. Selama beberapa dekade, batubara menjadi primadona, memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara.
Namun, seperti halnya semua sumber daya yang tidak terbarukan, masa kejayaan batu bara juga mendekati akhirnya, seiring dengan peralihan menuju energi baru terbarukan (EBT).
Batu bara telah memainkan peran penting sebagai pilar energi modern, menyumbang sekitar 60 persen dari pembangkit listrik Indonesia pada tahun 2023. Namun, target pemerintah untuk mencapai net-zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih awal telah mendorong upaya transisi ke EBT.
Baca juga: RI Bisa Tiru Cara Inggris untuk Percepat Transisi Energi
Saat ini, Indonesia menargetkan peningkatan bauran energi terbarukan hingga 23% pada 2025. Perubahan ini memicu kebutuhan akan mineral kritis yang diperlukan untuk mendukung teknologi energi bersih.
Menurut Kementerian ESDM, ada 47 komoditas yang dikategorikan sebagai mineral kritis di Indonesia, termasuk nikel, kobalt, tembaga, dan bauksit. Mineral-mineral ini digunakan dalam teknologi seperti baterai kendaraan listrik, panel surya, dan turbin angin.
Misalnya, nikel adalah bahan utama untuk baterai kendaraan listrik, dan Indonesia memiliki 23,7 persen cadangan nikel dunia, menjadikannya produsen nikel terbesar di dunia (USGS, 2023).
Tingginya nilai ekonomi mineral kritis menarik perhatian kelompok kejahatan terorganisir. Laporan UNODC 2023 menunjukkan bahwa sektor pertambangan ilegal bernilai hingga 48 miliar dollar AS per tahun secara global, dengan sebagian besar terkait perdagangan mineral kritis.
Di Indonesia, praktik penambangan ilegal masih marak. Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa lebih dari 2.741 titik tambang ilegal tercatat antara 2018-2023, dan sebagian besar melibatkan mineral kritis dan strategis seperti nikel,bauksit, dan emas.
UN ICRI (United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute) menyadari kompleksitas tantangan dalam pengelolaan mineral kritis, terutama terkait eksploitasi ilegal yang kian meningkat.
Dalam workshop bertema “Combatting Illegal Mining and Illicit Trafficking related to Critical Minerals” yang diadakan di Phnom Penh, Kamboja, pada awal Desember 2024, delegasi dari delapan negara ASEAN berkumpul untuk membahas langkah-langkah konkret dalam mengatasi masalah ini.
Baca juga: PLN Jalin Kolaborasi dengan Pemain EBT Global untuk Transisi Energi
Salah satu isu utama yang mengemuka adalah perbedaan definisi mineral kritis di antara negara-negara. Setiap negara memiliki daftar prioritas yang berbeda, mencerminkan kebutuhan nasional masing-masing.
Di Indonesia, misalnya, nikel dipandang sangat strategis karena perannya dalam produksi baterai kendaraan listrik. Sementara itu, negara lain mungkin lebih fokus pada tembaga, bauksit, pasir silika, atau mineral lainnya.
Perbedaan ini sering kali menjadi penghambat kerja sama lintas negara dalam penegakan hukum, terutama dalam menghadapi kejahatan yang melibatkan rantai pasok internasional.
Untuk mengatasi hambatan ini, workshop merekomendasikan penyusunan kerangka kerja regional yang dapat menyelaraskan definisi mineral kritis di ASEAN, atau setidaknya menyepakati daftar mineral kritis yang menjadi prioritas tindakan bersama.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya