KOMPAS.com - Studi komprehensif pertama tentang kesehatan dan perubahan iklim di negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang mengungkap dampak krisis di wilayah tersebut.
Penelitian juga menyerukan adanya tindakan dari negara-negara kaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Menurut laporan dari Lancet Countdown, sekitar 65 juta orang yang tinggal di negara-negara kepulauan kecil di dunia menghadapi bencana akibat dampak kesehatan dari kerusakan iklim.
Hal tersebut dapat terjadi karena gelombang panas, kekeringan, penyakit yang ditularkan serangga, dan cuaca ekstrem yang makin parah karena krisis iklim.
Baca juga:
"Salah satu tantangan utama adalah panas karena itu bisa memengaruhi kesehatan secara fisiologis tetapi juga lingkungan laut yang merupakan bagian besar dari budaya dan pola makan negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang," ungkap Georgiana Gordon-Strachan, direktur pusat Lancet Countdown, seperti dikutip dari Guardian, Selasa (17/12/2024).
Panas juga bakal memengaruhi peristiwa cuaca ekstrem, karena begitu lautan menghangat, energi panas tersebut memicu lebih banyak badai dahsyat dan badai yang berkembang sangat cepat.
Panas juga memengaruhi kapasitas tenaga kerja, dengan orang-orang yang dapat bekerja dengan aman selama lebih sedikit jam di luar ruangan.
"Panas akan memengaruhi negara kepulauan dengan cara yang serius, mulai dari peristiwa ekstrem, hilangnya rumah, nyawa, serta mata pencaharian," ungkap Gordon-Strachan.
"Temuan yang mengkhawatirkan ini memperingatkan kita bahwa kerugian dan kerusakan yang sudah dirasakan sebagai akibat dari perubahan iklim akan memburuk hingga ke titik bencana tanpa tindakan yang terpadu dan ambisius,” ungkap Roannie Ng Shiu dari Universitas Auckland, Selandia Baru menambahkan.
Selain itu, lebih dari satu juta orang yang tinggal di daerah dataran rendah negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang di wilayah Pasifik, Karibia, Atlantik, Samudra Hindia, dan Laut Cina Selatan kemungkinan juga akan mengungsi karena naiknya permukaan air laut.
Baca juga:
Laporan pun memperingatkan pula mengenai meningkatnya kerawanan pangan karena lingkungan laut tidak stabil, yang mendorong meningkatnya angka masalah kesehatan kronis seperti diabetes dan obesitas.
Sementara sistem kesehatan di negara-negara tersebut tidak siap menghadapi dampak krisis iklim. Hanya delapan dari 59 negara yang diteliti memiliki strategi iklim dan kesehatan nasional, dan sebagian besar tidak memiliki proyeksi iklim yang diperlukan untuk menyelesaikan penilaian kerentanan dan risiko.
Untuk menangani masalah tersebut, laporan menyebut perlu tindakan internasional dari negara-negara berpendapatan tinggi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca karena negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang sendiri secara kolektif memiliki emisi yang rendah.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya