Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Indonesia Jangan Muram, Kejar Ketertinggalan lewat Riset Biodiversitas

Kompas.com - 11/02/2025, 09:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Keragaman etnobotani

Selain keragaman tumbuhan, Indonesia juga memiliki etnik dan budaya yang kaya. Interaksi antara komunitas masyarakat lokal dengan tumbuhan, dikenal sebagai etnobotani.

Baca juga: Gambut dan Mangrove Bisa Pangkas 770 Megaton Emisi CO2 di Asia Tenggara

Dengan etnobotani kita bisa memahami kegunaan tumbuhan secara empiris yang telah dipraktikkan oleh masyarakat lokal sejak berpuluh atau bahkan ratusan tahun. Contoh paling terkenal adalah jamu, yang telah diakui sebagai ‘warisan budaya tak benda’ oleh UNESCO pada 2023. Ini membuktikan bahwa interaksi budaya lokal dengan sumber daya tumbuhan Indonesia sudah diakui dunia akan eksistensi dan kegunaannya.

Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) Kementerian Kesehatan sudah mendokumentasikan ribuan jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh berbagai etnik, dari Sumatra hingga Papua. Namun, jika melihat data Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu), baru sekitar ratusan jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan jamu.

Riset dan pengembangan RISTOJA sejatinya bisa diperluas lagi dengan menyasar masyarakat yang tinggal di pedalaman pulau-pulau kecil dan terluar. Mereka pun memiliki pengetahuan lokal yang sangat berharga.

Kita bisa membayangkan bagaimana mereka mampu bertahan dengan akses layanan kesehatan yang minim dan mengandalkan resep warisan leluhur secara turun-temurun—yang dulunya telah melalui proses trial and error. Beberapa di antaranya telah terbukti bermanfaat dan berkhasiat. Semua kearifan lokal ini harus bisa kita manfaatkan.

Di negara-negara Asia Timur, rumah sakit herbal memiliki tingkat okupansi lebih dari 70 persen. Meskipun biaya pengobatannya sebenarnya lebih mahal dari rumah sakit modern, tapi pengobatan herbal lebih digemari dan dipercaya oleh masyarakat.

Di Indonesia, klinik herbal Hortus Medicus di Tawangmangu sudah menunjukkan potensi besar dalam memberikan pengobatan berbahan alam. Ini bisa menjadi pemicu untuk memperluas riset, pengembangan produk, hingga implementasi dalam bentuk klinik atau rumah sakit berbasis herbal.

Di Maluku, kita mengenal ‘Herbarium Amboinense’, buku catatan yang berisi sekitar 1.200 jenis tanaman obat lokal yang didokumentasikan oleh ahli botani kelahiran Jerman Georgius Everhardus pada abad ke-17. Di Jawa ada dokumentasi pengetahuan lokal serupa dalam Serat Centhini, di Pulau Dewata ada Usada Bali dan masih banyak lagi pengetahuan lokal yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pengetahuan lokal Indonesia ini tidak kalah pentingnya dengan temuan luar negeri, seperti penemuan obat malaria Artemisia oleh perempuan ilmuwan Cina, Tu Youyou yang meraih Nobel Kesehatan pada 2015.

Contoh senyawa obat lain yang ditemukan melalui pengetahuan tradisional antara lain aspirin (obat pengencer darah dari Filipendula ulmaria), digoxin (obat jantung dari Digitalis purpurea), morphine (penghilang nyeri dari Papaver somniferum), quinine (obat malaria dari Cinchona pubescens), dan masih banyak lagi. Semua ini menunjukkan bahwa pengetahuan lokal kita berpotensi menghasilkan inovasi besar di masa depan.

Sudah saatnya Indonesia serius menggarap potensi dan kekayaan alam ini. Dengan fokus pada sektor yang kita miliki, yakni keanekaragaman tumbuhan, kita bisa menciptakan produk-produk inovatif yang berbasis riset dan berpotensi menjadi pemasok utama kebutuhan pasar global.

Mengembangkan riset dan inovasi tentu tidak seperti cerita Candi Prambanan yang katanya dibangun hanya dalam waktu semalam. Kita butuh konsistensi dan napas yang panjang.

Jika fokus mengelola keanekaragaman hayati, dengan dukungan sumber daya manusia unggul, infrastruktur riset memadai, pendanaan yang cukup, serta konsistensi kebijakan yang berpihak pada riset, maka saya hakulyakin kita bisa menciptakan inovasi yang mampu mengubah masa depan Indonesia.

Baca juga: Bagaimana Keanekaragaman Hayati Pengaruhi Kehidupan Manusia?

* Profesor Riset Badan Riset dan Indovasi Nasional (BRIN)

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
MIND ID Targetkan Penurunan 21,4 Persen Emisi GRK pada 2030
MIND ID Targetkan Penurunan 21,4 Persen Emisi GRK pada 2030
BUMN
Target Swasembada 2027, KKP Jalin Kerja Sama Bangun Sentra Industri Garam
Target Swasembada 2027, KKP Jalin Kerja Sama Bangun Sentra Industri Garam
Pemerintah
Miskin, Minim Konsumsi Protein, dan Tercekik Iklim: Anak Pesisir Terancam Stunting
Miskin, Minim Konsumsi Protein, dan Tercekik Iklim: Anak Pesisir Terancam Stunting
Pemerintah
Pengurangan Emisi Metana, Danone Klaim Pangkas 25 Persen
Pengurangan Emisi Metana, Danone Klaim Pangkas 25 Persen
Swasta
Aktivis Protes soal Tambang Nikel, Pengamat: Standar Keberlanjutan Makin Mendesak
Aktivis Protes soal Tambang Nikel, Pengamat: Standar Keberlanjutan Makin Mendesak
LSM/Figur
KLH Hentikan Operasional 9 Perusahaan yang Terbukti Cemari Udara di Jabodetabek
KLH Hentikan Operasional 9 Perusahaan yang Terbukti Cemari Udara di Jabodetabek
Pemerintah
Perubahan Iklim Ancam Energi Angin, Potensinya Bisa Berkurang
Perubahan Iklim Ancam Energi Angin, Potensinya Bisa Berkurang
LSM/Figur
Dukung Ketahanan Pangan, Syngenta Pacu Kapabilitas Petani lewat Learning Centers
Dukung Ketahanan Pangan, Syngenta Pacu Kapabilitas Petani lewat Learning Centers
BrandzView
Kualitas Udara Jabodetabek Sebulan Terakhir Buruk, KLH Ungkap Pemicunya Transportasi-Industri
Kualitas Udara Jabodetabek Sebulan Terakhir Buruk, KLH Ungkap Pemicunya Transportasi-Industri
Pemerintah
Nasib Korban Iklim di Demak: Tersandung Hukum Lahan dan Minim Pelatihan
Nasib Korban Iklim di Demak: Tersandung Hukum Lahan dan Minim Pelatihan
LSM/Figur
Polisi Tindak Aktivis saat Gelar Aksi di Konferensi Nikel Internasional
Polisi Tindak Aktivis saat Gelar Aksi di Konferensi Nikel Internasional
LSM/Figur
Translokasi Badak Jawa, Langkah Konservasi untuk Cegah Krisis Genetik
Translokasi Badak Jawa, Langkah Konservasi untuk Cegah Krisis Genetik
Pemerintah
Rob, Iklim, dan Pantura: Mengapa Warga Tetap Tinggal Meski Terendam?
Rob, Iklim, dan Pantura: Mengapa Warga Tetap Tinggal Meski Terendam?
LSM/Figur
Bagaimana Membangun Pusat Data Berkelanjutan? Pelajaran dari Malaysia
Bagaimana Membangun Pusat Data Berkelanjutan? Pelajaran dari Malaysia
LSM/Figur
Harga Serangga untuk Pertanian: Tanpanya, Rp 300 Triliun Melayang
Harga Serangga untuk Pertanian: Tanpanya, Rp 300 Triliun Melayang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau