Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Agustiawan

Anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014

Disrupsi Energi dan Inovasi Teknologi

Kompas.com - 14/02/2025, 21:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menariknya, konon dahulu dana riset mereka justru dibiayai dari keuntungan impor minyak mentah dengan harga relatif murah dari negara-negara pengekspor minyak Arab, termasuk Indonesia. Kita pernah menikmati swasembada minyak pada era 1980-an.

Namun, akibat kesalahan dalam pengelolaan energi, termasuk minimnya dana riset, Indonesia telah menjadi net oil importer sejak 2004.

Misalnya, pada akhir 1980-an perusahaan minyak AS membeli minyak mentah sekitar 20 dollar AS per barel atau sekitar 0,48 dollar AS per galon.

Saat itu produk BBM dijual di SPBU antara 1,0 dollar AS dan 1,50 dollar AS per galon atau setara dengan 42-63 dollar AS per barel (1 galon = 3,78 liter; 1 barel = 42 galon).

Jika keuntungan dari harga jual sebesar 10 persen dengan konsumsi rata-rata BBM sekitar 16,9 juta Bph (Barel per hari) , maka AS akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar.

Artinya, sebagai negara pengimpor minyak, AS menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan negara pengekspor.

Baca juga:

Keuntungan ini tentunya tidak hanya karena dana riset AS yang besar saja, tetapi juga dari pengembangan infrastruktur energi, seperti kilang dan jaringan distribusi, yang mendorong inovasi teknologi.

Selain itu, daya beli masyarakat AS yang relatif tinggi terhadap BBM turut memperkuat posisinya.

Negara-negara maju pun telah mendirikan pusat-pusat riset yang memastikan mereka selalu berada beberapa langkah lebih maju dalam hal pengelolaan energi.

Kendala Inovasi Teknologi Dalam Negeri

Inovasi teknologi di dalam negeri sulit berkembang karena minimnya dana riset. Selama puluhan tahun, anggaran riset Indonesia tidak pernah menyentuh angka 1 persen dari APBN, bahkan hanya berkisar di bawah 0,3 persen dari PDB.

Angka ini jauh di bawah rekomendasi UNESCO sebesar 1 persen , serta tertinggal dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia (1,15 persen), Singapura (2,07 persen), China (2,1 persen), dan Jepang (3,65 persen).

Minimnya dana riset ini telah membuat riset dan inovasi teknologi domestik ‘terseok-seok’ sulit menembus tahap komersial. Terdapat rantai yang putus antara hasil inovasi dengan sistem tata-niaga nasional dan global.

Selain kurangnya dukungan pemerintah, para pebisnis juga lebih tertarik mencari keuntungan instan dengan ‘membeli’ teknologi atau mengimpor produk asing. Ini terbukti dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih disokong oleh konsumsi domestik ketimbang melalui proses nilai tambah dari hasil inovasi teknologi para anak bangsa.

Kondisi ini diperparah dengan pembubaran lembaga riset dan pengembangan teknologi seperti LIPI, BPPT, BATAN, dan LAPAN, dan dilebur ke BRIN dalam Perpres No. 33 tahun 2021.

Meskipun tujuannya untuk menyatukan dan memperkuat riset nasional dalam satu wadah, namun langkah ini justru memangkas anggaran.

Perpres ini telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan para peneiliti, akademisi dan praktisi. Mereka khawatir kebijakan ini justru ‘melumpuhkan’ dunia riset dan inovasi teknologi nasional. Hasil inovasi Indonesia tertinggal jauh dari Korea, China, dan Jepang, bahkan dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam.

Baca juga: Ekosistem Energi Hidrogen Indonesia Tertinggal, Belum Punya Standar

Sementara, selain menguasai teknologi EBT, negara-negara maju juga telah mengembangkan teknologi batu bara bersih (Clean Coal Technology), seperti Fluidized Bed Combustion, Coal Gasification, Coal Liquefaction, dan Carbon Capture Utilization & Storage.

Teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan batu bara sekaligus mengurangi emisi lingkungan. Meski Indonesia memiliki cadangan batu bara yang berlimpah, penguasaan terhadap teknologi ini masih tertinggal jauh.

Dinamika Geopolitik dan Transisi Energi

Transisi energi global dipengaruhi oleh dinamika geopolitik. Setelah Donald Trump dilantik kembali sebagai Presiden AS (20/01/2025), ia menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris (COP-29).

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau