Trump berargumen bahwa kebijakan hijau merugikan ekonomi AS, dan ia lebih memilih untuk meningkatkan produksi bahan bakar fosil. Ia menegaskan bahwa AS memiliki cadangan migas terbesar di dunia dan berencana untuk memaksimalkan pemanfaatannya.
Trump juga mengkritik proyek EBT seperti tenaga angin dan surya, menganggap keduanya mahal dan tidak efisien. Dalam wawancaranya dengan Fox News (24/01/2025) , ia menyatakan bahwa tenaga angin membunuh burung dan panel surya membutuhkan lahan yang sangat luas.
Pernyataan tersebut mencerminkan sikap Trump yang skeptis terhadap EBT, dan preferensinya terhadap fosil guna mendukung perekonomian AS.
Namun, meskipun AS menarik diri dari kebijakan hijau, Uni Eropa masih berkomitmen terhadap European Green Deal dengan target netralitas karbon pada 2050.
China juga terus berinvestasi besar-besaran dalam EBT, meskipun ketergantungannya pada batu bara masih sangat tinggi.
Ke depan, dampak dari disrupsi energi berpotensi membagi-bagi dunia ke dalam tiga blok, yakni China, Amerika dan sisanya.
China memfokuskan pengembangan EBT yang masif, AS memilih bersikap kembali ke masa lalu (Migas), sedangkan Uni Eropa dalam posisi wait and see namun masih tetap berkomitmen pada agenda hijau.
Baca juga: Setelah PLTS Booming, China Bakal Pangkas Subsidi Energi Bersih
Sumber EBT, baterai, hidrogen hijau dan AI ditengarai ke depan akan memimpin, sedangkan lainnya akan tertinggal. Di sektor transportasi, pengembangan mobil listrik (EV) dan infrastruktur seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), perlu dipercepat pembangunannya.
Dengan cadangan nikel yang berlimpah, Indonesia berpotensi menjadi pusat utama produksi baterai kendaraan listrik dunia.
Bagi Indonesia, sikap kebijakan energi AS di atas tidak menjadi kendala utama, mengingat Indonesia memiliki sumber energi yang beragam.
Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor LNG dan LPG dari AS dengan harga yang kompetitif.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG dan meningkatkan efisiensi distribusi gas, pembangunan infrastruktur jaringan gas kota (city gas) perlu dipercepat. Seperti halnya pasokan air dari PDAM yang mengalir ke rumah, gas juga dapat didistribusikan utamanya di kota-kota besar.
Kesimpulannya, sejarah menunjukkan bahwa negara pengimpor minyak dengan teknologi unggul lebih diuntungkan daripada negara pengekspor.
Baca juga: Tekan Emisi, Empat Sektor Industri Ini Didesak Pasang Teknologi CCU
Untuk mengejar ketertinggalan, Indonesia harus meningkatkan anggaran riset dan memastikan inovasi teknologi lokal masuk ke dalam tata niaga domestik dan global.
Negara maju menguasai teknologi energi karena telah berinvestasi besar dalam riset dan inovasi teknologi. Pemerintah perlu mendorong regulasi yang memberi insentif bagi perusahaan yang mengembangkan dan menerapkan teknologi energi lokal.
Kebijakan riset dan pengembangan teknologi harus menjadi prioritas agar Indonesia tidak sekadar menjadi pasar dari produk impor, tetapi menjadi pemain utama dalam industri energi.
“Tanpa inovasi, Indonesia cuma bisa menonton tiga raksasa dunia berebut panggung energi. Tapi tenang, masih bisa tepuk tangan... atau kita ganti profesi saja jadi komentator?”
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya