Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Carbon, Capture and Storage: Solusi Hijau Betulan atau Palsu?

Kompas.com - 21/02/2025, 10:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Agus Hasan*

KOMPAS.com - Pemerintahan Indonesia saat ini sedang gencar mengobral bisnis penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) kepada negara lain.

Awal bulan ini, Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo menegaskan kembali kesiapan Indonesia untuk menjadi gudang penyimpanan karbon di kawasan Asia Tenggara.

CCS digadang-gadang sebagai bisnis hijau sekaligus solusi baru perubahan iklim. Penelusuran saya mengenai pengalaman CCS di banyak negara, justru menunjukkan hal sebaliknya. Teknologi ini berdampak semu serta memiliki banyak kendala, dengan risiko lingkungan yang tinggi dan biaya yang sangat mahal.

Kritik dan preseden gagal proyek CCS

Teknologi penangkapan karbon bukanlah hal baru. Pada tahun 1970-an, teknologi ini pertama kali diterapkan di Texas, Amerika Serikat (AS), melalui skema Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS). Prinsipnya sederhana: karbon dioksida (CO2) ditangkap dari sumber industri atau atmosfer, lalu digunakan kembali untuk tujuan baru.

Dalam banyak praktik, CO2 yang ditangkap dari sumber industri disalurkan ke ladang minyak terdekat untuk meningkatkan produksi minyak bumi melalui teknik yang dikenal dengan Enhanced Oil Recovery (EOR). Model bisnis ini menguntungkan karena surplus minyak yang dihasilkan mampu menutupi biaya penangkapan karbon.

Meski begitu, skema CCUS menuai kritik karena dianggap lebih condong mendukung keberlanjutan industri bahan bakar fosil, ketimbang mengurangi emisi untuk mengatasi perubahan iklim. Dengan peningkatan produksi minyak karena injeksi CO2, maka otomatis emisi yang dilepaskan dari pembakaran minyak itu sendiri akan jauh lebih besar daripada karbon yang ditangkap.

Di tengah kritik itu, munculah teknologi CCS sebagai alternatif.

Secara prinsip, cara kerja CCS sebenarnya hampir sama dengan CCUS. Bedanya, teknologi CCS hanya menyimpan CO2 secara permanen di struktur geologi bawah tanah tanpa menggunakannya kembali, sehingga tidak akan ada emisi yang dilepaskan ulang. Oleh karenanya, CCS lebih diterima oleh pegiat lingkungan pada masa itu.

Salah satu proyek CCS komersial pertama yang berhasil di dunia adalah Sleipner di Norwegia pada tahun 1996. Namun, proyek ini lebih terdorong oleh upaya menghindari pajak karbon yang tinggi di negara tersebut, bukan semata upaya menangani krisis iklim.

Setelah Norwegia, banyak negara-negara maju lain mengembangkan teknologi yang sama. Sayangnya, data global menunjukkan mayoritas proyek CCS ini gagal.

Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) pada 2022 mengungkap, dari 13 proyek besar yang dianalisis, tujuh berkinerja buruk, dua gagal total, dan satu dihentikan.

Baca juga: Proyek Carbon Capture Storage, Indonesia Butuh 2,4 Triliun Dollar AS

Sebut saja proyek Kemper di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2017 yang dihentikan meski sudah menghabiskan pendanaan sebesar 270 juta dollar AS atau setara Rp 4,39 triliun dari pajak masyarakat.

Di Australia, proyek Gorgon pada tahun 2020 — yang disebut sebagai proyek CCS terbesar di dunia dan didukung dana pemerintah sebesar 60 juta dollar Australia atau setara Rp 619,8 miliar — gagal mencapai target hingga 50 persen selama lima tahun pertama.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau