KOMPAS.com - Lembaga Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa Alobi menyebutkan, tambang bijih timah ilegal yang marak di Bangka Belitung memicu konflik antara buaya dengan manusia di daerah itu.
Di Pangkalpinang, Manager PPS Alobi Air Jangkang Endy R Yusuf mengatakan, kehadiran tambang timah ilegal tak hanya merusak lingkungan.
"Tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup satwa endemik dan memicu terjadinya konflik antara manusia dan satwa liar khususnya buaya," kata Endy sebagaimana dilansir Antara, Senin (3/3/2025).
Baca juga: Buron Penambang Pasir Timah Ilegal di Belitung Timur Ditangkap, Rusak Mangrove
Ia menjelaskan, penambangan bijih timah ilegal ini beroperasi tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan. Perambahan hutan hingga pengerukan sungai menyebabkan degradasi habitat alami satwa liar.
Bahkan hutan mangrove dan kawasan pesisir yang menjadi tempat hidup dan berkembang biak buaya muara semakin menyusut.
Situasi tersebut memaksa satwa ini keluar mencari habitat baru yang sering kali berujung pada interaksi dengan manusia.
"Konflik antara buaya dan manusia yang sering terjadi di Bangka Belitung bahkan merenggut korban, belasan kasus tercatat pada tahun lalu," ujar Endy.
Selain buaya, spesies lain seperti tarsius juga terdampak. Hilangnya tutupan vegetasi mengurangi sumber makanan dan tempat berlindung, mengganggu rantai makanan, dan merusak keseimbangan ekosistem yang sudah terbentuk secara alami.
Baca juga: Walhi Babel Desak Pemerintah Cabut Izin Tambang Timah di Batu Beriga
"Ekosistem satwa terganggu karena masifnya aktivitas tambang timah ilegal, tidak heran jika hewan-hewan endemik Bangka Belitung terganggu dan terpaksa mencari habitat baru yang kadang bersamaan dengan lokasi aktivitas manusia," tutur Endy.
Menurut dia, perubahan ini menciptakan ancaman keselamatan bagi masyarakat sekaligus menempatkan buaya dalam risiko pembunuhan akibat tindakan defensif warga.
"Ekosistem yang terganggu akibat tambang ilegal menyebabkan satwa-satwa ini mencari habitat baru. Habitat baru inilah yang kadang bersinggungan dengan tempat manusia, sering orang bilang, 'dulu di situ enggak ada buaya tapi sekarang ada buaya'. Ini karena habitatnya terganggu," ujarnya.
Ia menyatakan konflik ini menjadi bukti nyata bahwa rusaknya habitat alami mendorong satwa liar semakin dekat dengan manusia.
Alobi sering menyelamatkan buaya yang ditangkap warga untuk dibawa ke PPS Alobi Air Jangkang.
Baca juga: Kerugian Kerusakan Lingkungan Rp 271 Triliun dari Kasus Korupsi Timah
"Hanya saja belum ada jalan keluar atas persoalan ini, mereka juga terbatas tempat untuk menampung para buaya. Padahal buaya merupakan salah satu satwa yang dilindungi," ujar Endy.
Ia menyebutkan, Bangka Belitung memang masih membutuhkan sektor pertambangan untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Namun, pertambangan harus dilakukan dengan pemulihan lahan dan mereklamasi lahan bekas tambang.
"Pertambangan harus dilakukan dengan berwawasan lingkungan, melakukan konservasi, dan juga menjalankan fungsi reklamasi sehingga ekosistem bisa tetap terjaga," jelas Endy.
Ia menambahkan, diperlukan sinergi antara pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat. Penegakan hukum terhadap tambang ilegal juga harus diperketat, disertai program rehabilitasi lahan dan restorasi ekosistem sungai.
"Upaya konservasi satwa liar juga perlu ditingkatkan, misalnya dengan mendirikan kawasan konservasi baru dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam," ucap Endy.
Baca juga: Program Timah Mengajar Jadi Kontribusi MIND ID Tingkatkan Kualitas Pendidikan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya