JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan sampah plastik masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Berdasarkan data statistik persampahan domestik Indonesia pada akhir 2024, jenis sampah plastik menduduki peringkat kedua sebesar 5.4 juta ton per tahun atau 14 persen dari total produksi sampah.
Dari jumlah itu, sebagian narasi yang beredar mengemukakan bahwa kemasan plastik sekali pakai, baik botol ataupun galon, merupakan penyumbang utama pencemaran lingkungan di sejumlah tempat.
“Meski demikian jangan dulu berprasangka karena tidak semua plastik merupakan sampah. Kalau ditemukannya di truk atau tempat sampah, ini belum menjadi sampah. Namun, kalau ditemukannya di tempat pembuangan akhir (TPA) itu baru bisa dikategorikan sebagai sampah,” ujar Founder Net Zero Waste Management Consortium (NZWMC) Ahmad Safrudin dalam acara Kompas.com Talks bertajuk "Mitos Vs Fakta: Benarkah Semua Plastik Adalah Sampah?" yang digelar di Jakarta, Jumat (21/2/2025).
Baca juga: Bukan Hanya Konsumen, Produsen Wajib Kurangi Sampah Plastik
Berdasarkan hasil penelitian terbaru yang dilakukan NZWMC yang menyoroti top 25 sampah plastik di enam kota, plastik kemasan kecil justru paling mendominasi.
Dalam laporan NZWMC tersebut, kemasan saset menempati posisi tertinggi dengan total 152.783 sampah. Sementara, urutan temuan terbanyak kedua disusul gelas plastik air minuman dalam kemasan (AMDK) dengan total sampah mencapai 135.383 buah.
kemasan sekali pakai justru tak ditemukan sama sekali pada tempat pembuangan sampah atau pun badan sungai.
"Sampah plastik yang paling banyak ditemukan di tempat pembuangan akhir (TPA), badan sungai, hingga laut adalah serpihan plastik kemasan kecil, seperti saset dan gelas plastik AMDK," kata Ahmad
Pada penelitian NZWMC, sampah, seperti saset dan gelas plastik AMDK disebutkan kurang diminati oleh para pemulung dan bank sampah.
Baca juga: Murah tapi Sulit Didaur Ulang, Alasan Sampah Gelas Plastik AMDK Membludak
Terkait itu, ukuran jadi salah satu penyebab banyaknya sampah jenis kecil karena membuat proses pengumpulan menjadi tidak efisien.
“Pemulung jadi membutuhkan waktu lebih lama untuk mengumpulkan sampah kecil dalam jumlah yang signifikan,” terang Ahmad.
Selain ukuran, sampah jenis saset dan gelas plastik juga sering tercampur dengan sisa makanan atau cairan sehingga memerlukan proses pembersihan tambahan yang meningkatkan biaya pengolahan.
"Seluruhnya (gelas plastik) harus dibersihkan sebelum didaur ulang dan tiap rantai proses membutuhkan biaya. Pada akhirnya, nilai ekonomi yang seharusnya didapat perlu dipotong karena prosesnya lebih rumit," terang Ahmad.
Baca juga: Sampah Gelas Plastik Jadi Masalah Besar, Saatnya Produsen Ikut Bertanggung Jawab
Senada dengan Ahmad, CEO Kita Bumi Hadiyan Fariz Azhar menjelaskan bahwa plastik bernilai rendah, seperti saset dan gelas plastik AMDK kurang diminati karena berbagai kendala dalam proses daur ulang.
“Plastik bernilai rendah belum memiliki sistem pengelolaan optimal. Program daur ulangnya masih terbatas dan belum menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah luas.,” ucap Fariz.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya