Banjir yang seolah datang rutin menyapa kita rasanya bukan saja diakibatkan dari tingginya curah hujan atau drainase yang buruk.
Ada hal lain yang sering kita abaikan bahwa kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan gaya hidup konsumtif.
Misalnya, alih fungsi lahan di kawasan Puncak Bogor, Jawa Barat, dengan mendirikan objek wisata atau hunian, deforestasi untuk pembukaan perkebunan sawit, pertambangan, limbah industri fast fashion adalah bagian dari rantai tak kasatmata yang menghubungkan konsumerisme dengan bencana lingkungan.
Situasi di atas akhirnya memberikan pemahaman bahwa terdapat efek bumerang dari sikap konsumerisme yang kita lakukan.
Risiko yang kita ciptakan akhirnya kembali menghantam kita bersama dan banjir adalah salah satu bentuknya.
Rusaknya lingkungan yang salah satunya dipicu oleh sikap konsumtif pada gilirannya juga mengancam kehidupan.
Baca juga: Menangis Lihat Kerusakan Alam Puncak, Dedi Mulyadi: Siapa yang Beri izin?
Sebagian kita mungkin saja bisa menikmati kemudahan dan kepuasan sesaat dari gaya hidup konsumerisme. Namun, alam memiliki bahasanya sendiri untuk menjawabnya dengan tidak bisa terus menanggung beban tanpa konsekuensi.
Lebih memprihatinkan adalah bagaimana risiko-risiko tersebut menghantui kita, seringkali dianggap bertengger pada ruang privat. Dengan kata lain, ada individualiasi risiko atas masalah struktural yang terjadi.
Padahal, kerusakan lingkungan tidak hanya disebabkan individu semata, tetapi ada ketimpangan yang sifatnya struktural.
Lihat saja, seringkali kita mendengar jargon-jargon peduli lingkungan seperti “Go green, act now”, “Kurangi penggunaan plastik”, atau “Bawa tumbler, kurangi sampah plastik”.
Pesan-pesan tersebut tidak buruk, bahkan sangat baik untuk memantik kesadaran bersama. Namun begitu, seharusnya pemahaman kita tidak boleh berhenti pada batas tersebut, kerusakan lingkungan nyatanya juga dipercepat dari sistem struktural yang lebih besar.
Alih-alih menuntaskan masalah dari akarnya, kita seringkali justru disibukkan dengan upaya individual, yang meski penting, tetapi rasanya tidak cukup untuk mengatasi krisis lingkungan yang terjadi.
Maka dalam kehidupan modernitas penting kiranya untuk melakukan permenungan atas upaya untuk memperbaiki risiko yang telah kita ciptakan bersama.
Celakanya, ruang seperti ini seringkali masih hanya menyuguhkan atribusi simbolis ketimbang substantif.
Lihat saja beberapa tahun belakangan, semua komoditas berlomba-lomba untuk dilabeli “ramah lingkungan”.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya