KOMPAS.com - Studi terbaru menunjukkan, lapisan ozon di Antarktika mulai pulih. Pulihnya lapisan gas pelindung Bumi dari sinar ultraviolet matahari karena dunia berjanji mengekang pelepasan zat perusak ozon.
Penelitian tersebut dilakukan oleh sejumlah ahli, termasuk dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), yang diterbitkan di jurnal Nature pada 5 Maret 2025.
Guru Besar Studi Lingkungan dan Kimia Profesor Susan Solomon mengatakan, studi tersebut meupakan penelitian pertama yang mengungkapkan keyakinan tinggi bahwa lubang ozon di Antarktika mulai pulih.
"Kesimpulannya adalah, dengan keyakinan 95 persen, lubang ozon sedang pulih. Itu luar biasa. Dan itu menunjukkan kita benar-benar dapat memecahkan masalah lingkungan," kata Solomon dikutip dari situs web MIT.
Baca juga: Polusi Ozon Berpotensi Kurangi Pertumbuhan Hutan Tropis
Pada 1985, para ilmuwan menemukan "lubang" di lapisan ozon di atas Antartika yang terbuka ketika Australia memasuki musim semi, antara September hingga Desember.
Penipisan ozon musiman ini tiba-tiba memungkinkan sinar matahari langsung tembus ke permukaan Bumi.
Paparan sinar ultraviolet ini berpotensi menyebabkan kanker kulit dan sejumlah dampah kesehatan lainnya.
Pada 1986, Solomon, yang saat itu bekerja di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), memimpin ekspedisi ke Antartika.
Di sana, dia dan timnya mengumpulkan bukti dan dengan cepat mengonfirmasi penyebabnya: klorofluorokarbon atau CFC.
Baca juga: Pangkas Emisi Metana Jadi Kunci Kurangi Dampak Perubahan Iklim dan Kerusakan Ozon
CFC merupakan bahan kimia digunakan dalam kulkas, pendingin udara, dan sejumlah peralatan lain. Ketika CFC bocor dan lepas ke stratosfer, zat ini dapat memecah ozon pada saat kondisi musim tertentu.
Pada 1987, dunia dengan cepat sepakat untuk melarang penggunaan CFC melalui Protokol Montreal. Dunia sepakat mengekang zat perusak ozon tersebut.
Pada 2016, Solomon memimpin sebuah penelitian yang melaporkan tanda-tanda utama pemulihan ozon.
Dalam penelitian tersebut, lubang ozon tampaknya mengecil setiap tahunnya, terutama pada September ketika lubang tersebut terbuka.
Namun, penelitian tersebut bersifat kualitatif dan belum bisa mengonfirmasi seberapa besar dampak upaya global terhadap pemulihan ozon.
Baca juga: Pemerintah Indonesia Berupaya Tekan Penggunaan CFC untuk Lindungi Ozon
Kini, dalam penelitian terbaru, Solomon dan timnya menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mengidentifikasi penyebab pemulihan lapisan ozon.
Mereka memintam metode "fingerprint" atau "sidik jari" yang dipelopori oleh Klaus Hasselmann, yang mendapat Penghargaan Nobel Fisika pada 2021 atas metode tersebut.
Tim memanfaatkan metode tersebut untuk melakukan simulasi dan menganalisis data satelit sejak 2005.
Mereka menemukan bahwa, seiring berjalannya waktu, sidik jari yang mereka identifikasi dalam simulasi menjadi semakin jelas dalam pengamatan.
Pada 2018, sidik jari tersebut berada pada titik terkuatnya, dan tim tersebut dapat mengatakan dengan keyakinan 95 persen bahwa pemulihan ozon terutama disebabkan oleh pengurangan zat perusak ozon.
Baca juga: Kabar Baik, WMO Prediksi Lapisan Ozon Bisa Pulih Sepenuhnya
"Yang dapat kami pelajari dari studi ozon adalah bagaimana berbagai negara dapat dengan cepat mengikuti perjanjian ini untuk mengurangi emisi," kata Solomon.
Jika tren ini berlanjut, dan sidik jari pemulihan ozon semakin kuat, Solomon mengantisipasi bahwa sebentar lagi akan ada satu tahun ketika lapisan ozon tetap utuh.
Dan akhirnya, lubang ozon akan tetap tertutup untuk selamanya.
"Pada sekitar tahun 2035, kita mungkin akan melihat satu tahun ketika tidak ada penipisan lubang ozon sama sekali di Antarktika. Dan itu akan sangat menarik bagi saya," ujar Solomon.
Baca juga: Indonesia Turunkan Perusak Ozon HCFC 55 Persen Tahun 2023
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya