Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Indonesia Berupaya Tekan Penggunaan CFC untuk Lindungi Ozon

Kompas.com, 23 September 2024, 12:18 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia telah berupaya mengurangi penggunaan CFC (Chlorofluorocarbon) untuk melindungi lapisan ozon yang menjaga bumi.

Kepala Subdirektorat Pengendalian Perusak Ozon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Zulhasni menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi Wina sejak tahun 1992.

"Perlahan-lahan dari tahun 1992 itu kami mulai mengurangi penggunaan bahan perusak ozon. Dicarilah alternatif penggantinya, jadi sampai sekarang pun banyak yang sudah kami hentikan penggunaan bahan perusak ozon tersebut," kata Zulhasni dalam acara diskusi “Lindungi Ozon, Kurangi Perubahan Iklim” di Jakarta, Jumat (20/9/2024).

Baca juga: Dunia Habiskan 2,6 Triliun Dollar AS Per Tahun untuk Subsidi Aktivitas yang Sebabkan Pemanasan Global

Selain tidak meggunakan CFC, menurutnya, Indonesia sudah tidak lagi memakai Carbon tetrachloride (CTC) dan metylchloride (MC).

Namun, Indonesia masih menggunakan Hydrochloroflourocarbon (HCFC) sebagai bahan pendingin untuk AC dan lemari pendingin. HCFC sebagai turunan CFC, mengandung zat hidrogen, klorin, dan fluor.

Cari pengganti 

Kendati demikian, kata dia, zat HCFC masih sangat penting karena digunakan bukan hanya untuk kulkas, tetapi juga lemari pendingin (cold storage).

Sebagai contoh, industri pertanian sangat membutuhkan cold storage untuk mengawetkan bahan pangan, seperti sayuran cabai.

“Jadi di satu sisi kita perlu cold storage, apalagi negara kita yang seperti ini musimnya. Jadi yang panen gagal segala macam itu sebenarnya bisa diatasi dengan adanya cold storage,” terangnya.

Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia bersama dengan industri tengah mencari pengganti CFC.

Sebab, sejauh ini, bahan yang digunakan Pemerintah Indonesia sudah tidak merusak lapisan ozon, tapi masih menyebabkan pemanasan global.

Baca juga: Ekosistem Gambut dan Mangrove Indonesia dalam Konstelasi Pemanasan Global

"Jadi pabrik-pabrik AC itu sudah berganti, sekarang sudah menggunakan R32 atau difluoromethane. R32 itu tidak merusak lapisan ozon, tapi masih menyebabkan pemanasan global," ujar Zulhasni.

Menurutnya, cara terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan mencegah freon terbuang atau terlepas ke lingkungan.

"Kalau dia tidak terlepas ke lingkungan, lingkungan akan baik-baik saja, dia tidak akan rusak. Jadi itulah yang kita coba lakukan, kampanyekan ke masyarakat bahwa pakai AC itu tidak haram. Tapi bagaimana kita memanfaatkan dengan bijak. Jadi ya itu, jaga supaya AC kita tidak cepat bocor," pungkasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Dari Tanah “Sakit” ke Lumbung Harapan, Ini Kisah Pengawalan Pertanian Jaga Ketahanan Pangan Desa
Dari Tanah “Sakit” ke Lumbung Harapan, Ini Kisah Pengawalan Pertanian Jaga Ketahanan Pangan Desa
BUMN
Kebijakan Pelarangan Sawit di Jabar Disebut Tak Berdasar Bukti Ilmiah
Kebijakan Pelarangan Sawit di Jabar Disebut Tak Berdasar Bukti Ilmiah
LSM/Figur
Sampah Campur Aduk, Biaya Operasional 'Waste to Energy' Membengkak
Sampah Campur Aduk, Biaya Operasional "Waste to Energy" Membengkak
LSM/Figur
Biaya Kelola Limbah Setara Beli Popok Baru, Padahal Fibernya Punya Banyak Potensi
Biaya Kelola Limbah Setara Beli Popok Baru, Padahal Fibernya Punya Banyak Potensi
LSM/Figur
Inovasi Jaring Bertenaga Surya, Kurangi Penyu yang Terjaring Tak Sengaja
Inovasi Jaring Bertenaga Surya, Kurangi Penyu yang Terjaring Tak Sengaja
Pemerintah
Kebijakan Iklim yang Sasar Gaya Hidup Bisa Kikis Kepedulian pada Lingkungan
Kebijakan Iklim yang Sasar Gaya Hidup Bisa Kikis Kepedulian pada Lingkungan
Pemerintah
 RI Belum Maksimalkan  Pemanfaatan Potensi Laut untuk Atasi Stunting
RI Belum Maksimalkan Pemanfaatan Potensi Laut untuk Atasi Stunting
LSM/Figur
Langkah Membumi Ecoground 2025, Gaya Hidup Sadar Lingkungan Bisa Dimulai dari Ruang Publik
Langkah Membumi Ecoground 2025, Gaya Hidup Sadar Lingkungan Bisa Dimulai dari Ruang Publik
Swasta
Target Swasembada Garam 2027, KKP Tetap Impor jika Produksi Tak Cukup
Target Swasembada Garam 2027, KKP Tetap Impor jika Produksi Tak Cukup
Pemerintah
Kebijakan Mitigasi Iklim di Indonesia DInilai Pinggirkan Peran Perempuan Akar Rumput
Kebijakan Mitigasi Iklim di Indonesia DInilai Pinggirkan Peran Perempuan Akar Rumput
LSM/Figur
KKP: 20 Juta Ton Sampah Masuk ke Laut, Sumber Utamanya dari Pesisir
KKP: 20 Juta Ton Sampah Masuk ke Laut, Sumber Utamanya dari Pesisir
Pemerintah
POPSI: Naiknya Pungutan Ekspor Sawit untuk B50 Bakal Gerus Pendapatan Petani
POPSI: Naiknya Pungutan Ekspor Sawit untuk B50 Bakal Gerus Pendapatan Petani
LSM/Figur
Suhu Global Tetap Tinggi, meski Siklus Alami Pemanasan El Nino Absen
Suhu Global Tetap Tinggi, meski Siklus Alami Pemanasan El Nino Absen
Pemerintah
Rantai Pasok Global Bisa Terganggu akibat Cuaca Ekstrem
Rantai Pasok Global Bisa Terganggu akibat Cuaca Ekstrem
Swasta
DLH Siapkan 3.395 Petugas Kebersihan, Angkut Sampah Saat Tahun Baru Jakarta
DLH Siapkan 3.395 Petugas Kebersihan, Angkut Sampah Saat Tahun Baru Jakarta
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau