Di sisi lain, dia juga menyoroti tantangan dan risiko dari adopsi AI terhadap pekerja perempuan. Menurutnya, otomatisasi yang didorong oleh AI dapat mengancam pekerjaan-pekerjaan yang selama ini didominasi oleh perempuan.
"Jika kita tidak mengambil langkah yang tepat, kesenjangan digital antara laki-laki dengan perempuan bisa semakin melebar," ujar Meutya.
Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya membangun ekosistem AI yang tidak hanya canggih, tapi juga beretika dan inklusif, serta bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Baca juga: IWHM 2025, Berdayakan Perempuan lewat Langkah Inspiratif
Selain meningkatkan keterlibatan perempuan, Meutya berujar pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mendukung transformasi digital yang beretika dan inklusif.
Pertama, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi untuk menjaga keamanan informasi masyarakat.
Selain itu, pihaknya juga menerbitkan Surat Edaran Etika AI yang menekankan pentingnya asas transparansi, inklusifitas, dan non-diskriminasi dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan.
Kedua, pengembangan infrastruktur digital dan literasi AI dengan memperluas akses internet ke seluruh pelosok negeri guna memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk pemanfaatan teknologi.
"Selain itu, gerakan menjangkau jutaan masyarakat kini diperkuat dengan fokus pada literasi AI, termasuk bagi perempuan dan juga kelompok rentan, agar mereka tidak tertinggal dalam era otomatisasi ini," ucap Meutya.
Baca juga: Studi: Perubahan Iklim Tingkatkan Kekerasan Terhadap Perempuan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya