JAKARTA, KOMPAS.com - Studi Ecoton menunjukkan bahwa mayoritas sungai di Indonesia telah tercemar logam berat berupa tembaga, timbal, kadmium, hingga seng.
Manager Science, Art and Communication Ecoton, Prigi Arisandi, mengungkapkan penelitian itu dilakukan di 68 sungai di 24 provinsi.
“Kalau di perkotaan pencemarannya logam berat, kemudian limbah domestik memang kadar fosfatnya yang tinggi,” ujar Prigi saat dihubungi, Senin (17/3/2025).
Berdasarkan data, pencemaran tertinggi terjadi di sungai yang berada di Pulau Jawa. Sungai Ciliwung, Citarum, Brantas, serta Bengawan Solo dikategorikan paling tercemar.
Padahal, kata Prigi, 80 persen orang Indonesia mengonsumsi air permukaan yang salah satunya bersumber dari sungai.
“Jadi PDAM kita, di Semarang, Jakarta kan dari Citarum, Ciliwung, Sungai Brantas. PDAM di kota-kota besar mengandalkan air sungai. Untuk menjernihkan air, kan butuh tawas yang mengandung alumunium,” jelas Prigi.
Penggunaan tawas ini pun berdampak pada sistem imun dan syaraf manusia bila dikonsumsi terus-menerus. Dalam studinya, para peneliti juga menemukan kandungan mikroplastik di setiap sungai yang diamati.
“Semua sungai di Indonesia mengandung mikroplastik. Hanya di hulu-hulu seperti di Leuser yang sedikit. Jadi sampah yang terbuang ke sungai akan menjadi mikroplastik,” tutur dia.
Adapun pencemaran banyak disebabkan industri perkebunan yang membuang limbah pestisida serta herbisida ke perairan.
Penyebab lainnya ialah pembuangan limbah langsung dari pabrik, industri pertambangan, serta berdirinya rumah di pinggir daerah aliran sungai (DAS).
Baca juga: Dampak Polusi Plastik pada Hewan, Burung Laut Alami Kerusakan Otak
Prigi menyebutkan, indikator kerusakan sungai ialah punahnya ikan air tawar.
“Di Citarum tinggal 10 (spesies), di Ciliwung tinggal beberapa spesies. Jadi ikan-ikan ini punya ruang hidup, yang sensitif akan hilang. Terus ikan-ikan yang toleran akan tinggal kayak ikan tawes,” papar Prigi.
Tanggung Jawab Pemerintah
Prigi menyatakan, tercemarnya air sungai merupakan tanggung jawab besar pemerintah. Kata dia, Ecoton sebelumnya telah menuntut kepala daerah dan kementerian terkait memasang kamera CCTV guna memonitoring kegiatan industri untuk memulihkan sungai-sungai.
“Pengawasannya, rata-rata aparat kita enggak bisa mengawasi dengan optimal. Karena ribuan industri diawasi oleh puluhan pengawas. Akhirnya mereka mengawasi pada jam-jam yang memang lagi diolah limbahnya,” ungkap Prigi.
“Tetapi kalau malam hari, enggak diolah limbahnya lalu dibuang langsung ke sungai,” imbuh dia.
Cara lainnya ialah menyertifikasi tanah di bantaran sungai untuk mengembalikan fungsinya. Dengan begitu, kawasan tersebut bersih dari bangunan permanen termasuk rumah warga maupun pabrik.
“Sungai tercemar limbah domestik karena rumah tepi sungai dibiarkan, mereka buang limbah. Pemerintah perlu merelokasi agar sungai menjadi kawasan lindung dengan memindahkan warga ke rumah susun,” ucap Prigi.
Baca juga: 8 Wilayah di Indonesia dengan Polusi Tertinggi Sepanjang 2024
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya