Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Badak Jawa Dinamai Ulang, Marganya Kini Beda dengan Badak Lain

Kompas.com - 16/03/2025, 21:00 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Studi terbaru mengungkap perbedaan signifikan dalam penampilan dan perilaku dua spesies badak bercula satu di Asia, menantang klasifikasi yang telah lama diterima dan mendorong evaluasi ulang status mereka.

Penelitian yang dipimpin oleh zoolog Francesco Nardelli dan paleontolog Kurt Heißig itu melihat ulang bagaimana jutaan tahun evolusi membentuk adaptasi badak India (Rhinoceros unicornis) dan badak Jawa (Rhinoceros sondaicus).

Badak Jawa yang berstatus Kritis (Critically Endangered) memiliki tengkorak lebih ramping, bagian belakang kepala lebih lebar dan rendah, serta hidung dan gigi lebih pendek yang cocok untuk memakan dedaunan.

Sebaliknya, badak India memiliki tengkorak lebih kokoh dan gigi lebih tinggi yang beradaptasi untuk merumput di padang rumput.

"Adaptasi mamalia darat besar terhadap lingkungan terkait dengan variasi makanan yang dikonsumsi, tercermin dalam perbedaan morfologi gigi dan tengkorak mereka," tulis para peneliti dalam makalah yang diterbitkan di jurnal ZooKeys

"Pada badak, adaptasi ini terlihat pada struktur gigi dan postur kepala mereka," imbuh mereka seperti dikutip Science Daily, Jumat (14/3/2025).

Badak Jawa yang kini hanya ditemukan di Semenanjung Ujung Kulon adalah spesies pemakan dedaunan dengan kulit unik berpola poligonal dan betina tanpa cula — karakteristik yang tidak ditemukan pada badak lain yang masih hidup.

Baca juga: Pertemuan Langka Dua Pari Manta, Panggilan Konservasi Laut Raja Ampat

Sebaliknya, badak India adalah pemakan rumput yang hidup di padang rumput aluvial di India utara dan Nepal.

Dengan lipatan kulit yang dalam dan tubuh lebih berat, badak India berukuran jauh lebih besar dibandingkan kerabatnya di Sunda.

Badak India hanya kalah besar dari gajah dan badak putih, dengan jantan berbobot lebih dari 2.000 kg dan betina mencapai 1.600 kg.

Bukti fosil menunjukkan bahwa perbedaan ini berkembang secara independen dalam rentang waktu yang sangat lama.

Para penulis menegaskan bahwa perbedaan ini mencerminkan perbedaan mendasar dalam anatomi dan ekologi serta merupakan hasil adaptasi evolusi.

Perilaku kedua spesies ini juga sangat berbeda, dengan badak Sunda cenderung hidup menyendiri, sementara badak India membentuk kelompok sementara.

"Kedua spesies memiliki adaptasi unik untuk bertahan hidup, yang menekankan pentingnya memahami sistematika mereka demi konservasi yang efektif," tulis para peneliti.

Berdasarkan temuan ini, para ilmuwan mengusulkan nama ilmiah yang lebih akurat untuk badak Jawa: Eurhinoceros sondaicus.

"Menetapkan Eurhinoceros sondaicus sebagai genus yang terpisah memberikan gambaran lebih akurat tentang sejarah evolusi dan spesialisasi ekologinya," tulis para peneliti.

"Klasifikasi yang lebih tepat ini tidak hanya meningkatkan pemahaman kita tentang evolusi badak, tetapi juga menyediakan kerangka kerja yang lebih jelas untuk perencanaan konservasi, membantu merancang strategi perlindungan yang lebih efektif bagi hewan yang sangat terancam punah ini," kata para peneliti.

Baca juga: Ada Efisiensi, KKP Kembangkan Pendanaan Alternatif Dukung Konservasi dan Pangan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Studi: Air Sungai di Indonesia Tercemar Logam Berat, Mayoritas Ada di Jawa

Studi: Air Sungai di Indonesia Tercemar Logam Berat, Mayoritas Ada di Jawa

LSM/Figur
Ambisi Transisi EV, Inggris Kini Pasang 75.000 Stasiun Pengisi Daya

Ambisi Transisi EV, Inggris Kini Pasang 75.000 Stasiun Pengisi Daya

Pemerintah
Emisi Semen Berkurang lewat Elektrifikasi dan Teknologi Penangkap Karbon

Emisi Semen Berkurang lewat Elektrifikasi dan Teknologi Penangkap Karbon

LSM/Figur
Sektor 'FLAG' dan Upaya Pengurangan Emisi, Langkah TSE Group Menuju Net Zero Emissions

Sektor "FLAG" dan Upaya Pengurangan Emisi, Langkah TSE Group Menuju Net Zero Emissions

Swasta
Target Nol Emisi pada 2040, Premier League Luncurkan Strategi Keberlanjutan

Target Nol Emisi pada 2040, Premier League Luncurkan Strategi Keberlanjutan

Pemerintah
Upaya Pemulihan DAS Cisadane Lewat Pertanian Regeneratif dan Agroforestri

Upaya Pemulihan DAS Cisadane Lewat Pertanian Regeneratif dan Agroforestri

LSM/Figur
Sepanjang 2024, Kilang Pertamina Internasional Pangkas 430.000 Ton CO2

Sepanjang 2024, Kilang Pertamina Internasional Pangkas 430.000 Ton CO2

Pemerintah
Cuaca Ekstrem Bayangi Arus Mudik, Banjir dan Longsor Berpotensi Terjadi

Cuaca Ekstrem Bayangi Arus Mudik, Banjir dan Longsor Berpotensi Terjadi

Pemerintah
9 Subsektor Industri Ditarget Ikut Perdagangan Karbon 2027, Ini Daftarnya

9 Subsektor Industri Ditarget Ikut Perdagangan Karbon 2027, Ini Daftarnya

Pemerintah
Smelter Nikel Asal China Terancam Tutup, Bisakah Danantara Jadi Penyelamat?

Smelter Nikel Asal China Terancam Tutup, Bisakah Danantara Jadi Penyelamat?

Pemerintah
Emisi GRK Jerman Turun, Begini Resep Mereka

Emisi GRK Jerman Turun, Begini Resep Mereka

Pemerintah
Menhut: Ada 7 Hektare Lahan Perhutanan Sosial untuk Petani

Menhut: Ada 7 Hektare Lahan Perhutanan Sosial untuk Petani

Pemerintah
8 Wilayah di Indonesia dengan Polusi Tertinggi Sepanjang 2024

8 Wilayah di Indonesia dengan Polusi Tertinggi Sepanjang 2024

LSM/Figur
KLH Bakal Proses Hukum TPA Swasta Tanpa Izin Lingkungan

KLH Bakal Proses Hukum TPA Swasta Tanpa Izin Lingkungan

Pemerintah
Penyalahgunaan AI Berisiko Perparah Kesenjangan Gender

Penyalahgunaan AI Berisiko Perparah Kesenjangan Gender

LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau