Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 28 Maret 2025, 10:07 WIB
HTRMN,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

BOYOLALI, KOMPAS.com – Hawa dingin langsung terasa begitu tim Kompas.com tiba di Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Boyolali, Selasa (18/2/2025).

Desa kecil itu terletak di lereng timur Gunung Merapi, di atas ketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pemandangan di sini begitu memukau. Di sisi timur, Gunung Lawu dan pegunungan hijau berdiri gagah. Sementara di barat, Gunung Bibi menjadi benteng alami dari erupsi Gunung Merapi.

Namun, Dukuh Gumuk tidak hanya indah. Desa kecil ini juga menjadi garda depan dalam menjaga keberlanjutan sumber daya air di Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur lewat konservasi anggrek.

Memasuki Dukuh Gumuk, hampir setiap rumah memamerkan keindahan dari tanaman anggrek. Lebih dari sekadar penghias halaman, tanaman ini rupanya menjadi bagian dari program konservasi yang dijalankan Kelompok Karya Muda sejak 2011.

Baca juga: Berwisata di Dukuh Gumuk Boyolali, Bisa Trekking hingga Adopsi Anggrek

Ketua Kelompok Karya Muda Joko Susanto, awalnya tidak pernah menyangka akan jatuh cinta pada anggrek. Ketertarikannya baru tumbuh setelah diajak teman naik ke Gunung Merapi dan melihat anggrek-anggrek liar di habitat aslinya.

“Saya awalnya tidak tertarik sama sekali. Namun, setelah melihat langsung kondisi hutan yang mulai gundul dan anggrek-anggrek banyak dijual bebas, saya merasa ada yang harus diselamatkan,” ucapnya.

Sejak itu, Joko mulai mengumpulkan anggrek dari sekitar desa dan membentuk komunitas konservasi yang kini telah berhasil melestarikan sekitar 45 spesies anggrek liar, termasuk Vanda tricolor yang hampir punah. Di kawasan Merapi sendiri terdapat lebih dari 90 spesies anggrek

Untuk mendukung keberhasilan program konservasi, kelompok itu membangun greenhouse berukuran 4x6 meter di tengah desa. Di sini, anggrek-anggrek dibudidayakan menggunakan metode kultur jaringan sebelum ditanam kembali di hutan Merapi.

Baca juga: Upaya Konservasi Anggrek Dendrobium capra Jawa Timur yang Terancam Punah

Greenhouse 4x6 meter di Dukuh Gumuk ini menjadi pusat pembibitan anggrek melalui metode kultur jaringan untuk mendukung konservasi Merapi.KOMPAS.com/HOTRIA MARIANA Greenhouse 4x6 meter di Dukuh Gumuk ini menjadi pusat pembibitan anggrek melalui metode kultur jaringan untuk mendukung konservasi Merapi.

Metode kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman secara aseptik menggunakan media khusus di laboratorium. Dalam proses ini, jaringan kecil dari tanaman induk diambil dan dibiakkan dalam botol kultur yang berisi media nutrisi lengkap.

Bibit anggrek yang dihasilkan melalui metode tersebut bebas dari penyakit, seragam dalam pertumbuhannya, dan mampu diproduksi dalam jumlah besar.

Metode kultur jaringan juga memungkinkan pembibitan anggrek tanpa harus mengambil tanaman langsung dari alam. Dengan begitu, populasi anggrek liar di habitat aslinya tetap terjaga.

“Prosesnya cukup lama. Satu botol kultur bisa menghasilkan hingga 500 bibit, tapi butuh waktu sekitar setahun untuk siap ditanam. Proses ini membutuhkan kesabaran tinggi. Kalau tidak ada semut yang membantu penyerbukan, kami lakukan manual. Prosesnya bisa sampai delapan bulan sampai siap dipanen,” jelas Joko.

Baca juga: Melakukan Konservasi dengan Mengembalikan Anggrek yang Pernah Hilang dari Merapi

Setelah siap, bibit anggrek kemudian ditempelkan pada pohon-pohon inang di kawasan hutan. Pohon-pohon tersebut diberi label konservasi sebagai tanda bahwa mereka tidak boleh ditebang.

“Melalui metode ini, kami memastikan kelestarian hutan tetap terjaga dan longsor bisa dicegah,” tambah Joko.

Ketua Kelompok Karya Muda Joko Susanto. KOMPAS.com/HOTRIA MARIANA Ketua Kelompok Karya Muda Joko Susanto.

Kolaborasi dan dukungan berbagai pihak

Program konservasi anggrek di Dukuh Gumuk merupakan bagian dari upaya lebih besar dalam menjaga kelestarian sumber daya air di Sub DAS Pusur secara terintegrasi. Kolaborasi ini melibatkan Pabrik AQUA Klaten, Pusur Institute, Lembaga Pembinaan Teknologi Pedesaan (LPTP), serta masyarakat setempat.

Stakeholder Relation Manager AQUA Klaten Rama Zakaria menekankan pentingnya pengelolaan air terpadu.

Baca juga: Sekolah Lapang Pertanian Dorong Petani sebagai Garda Depan Konservasi Air

"Pengelolaan sumber daya air harus dilakukan secara terintegrasi dari hulu hingga hilir, termasuk dengan menjaga ekosistem di kawasan Merapi melalui program konservasi anggrek ini," katanya.

Rama yang juga merupakan salah satu pengurus Pusur Institute menerangkan, institusi ini punya peran sebagai "dirigen" yang mengharmonisasikan berbagai kepentingan untuk menjaga ekosistem Sub DAS Pusur.

Dengan pendekatan pentaheliks, institut tersebut melibatkan pemerintah, masyarakat, akademisi, sektor swasta, dan media dalam setiap kegiatan konservasi.

Salah satu inovasi dalam program konservasi, termasuk anggrek, adalah skema pembayaran jasa lingkungan (PJL).

Baca juga: Ubah Sampah Jadi Berkah, Kisah Bank Sampah Semutharjo Selamatkan Sungai Pusur

Lewat skema tersebut, masyarakat di hulu yang menjaga lingkungan mendapatkan insentif dari pengguna jasa lingkungan di hilir, termasuk sektor swasta seperti pabrik air minum, pengelola wisata, dan masyarakat umum.

Insentif dapat berupa reward natural ataupun finansial, bergantung pada kontribusi konservasi yang dilakukan masyarakat hulu. Hal ini menciptakan kesepahaman dan kesepakatan sukarela di antara para pihak.

“Insentif diberikan secara adil berdasarkan kontribusi konservasi masyarakat hulu. Evaluasi ini menggunakan sistem skor dan indikator yang mencakup praktik pertanian ramah lingkungan, pola tanam, serta aktivitas konservasi lainnya," terang Rama.

Adopsi anggrek

Menariknya, konservasi anggrek di Dukuh Gumuk tidak hanya sekadar menjaga kelestarian flora endemik Merapi, tetapi juga membuka kesempatan bagi pengunjung untuk terlibat langsung melalui program adopsi anggrek.

Baca juga: Menjaga Kemurnian Sumber Air Jadi Investasi untuk Masa Depan

Wisatawan dapat memilih anggrek yang ingin diadopsi dari koleksi yang tersedia di greenhouse, termasuk spesies langka seperti Vanda tricolor.

Ada dua pilihan lokasi adopsi yang disediakan, yaitu di kebun warga atau di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Namun, untuk menuju taman nasional tersebut, diperlukan reservasi sekitar 10-15 hari sebelumnya untuk mengurus perizinan.

Biaya adopsi anggrek ini berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 700.000 per batang, tergantung pada jenisnya.

Setelah proses adopsi, anggrek tidak dibawa pulang oleh pengadopsi, tapi ditempatkan kembali di habitat aslinya di hutan Merapi.

Dengan demikian, pengadopsi berkontribusi langsung dalam upaya konservasi tanpa harus memiliki fisik tanamannya.

Pengelola program juga akan secara rutin memantau perkembangan anggrek tersebut dan memberikan laporan berkala kepada pengadopsi mengenai kondisi dan pertumbuhannya.

Hingga kini, sudah ada enam orang yang tercatat mengadopsi anggrek di lereng Merapi.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau