"Dulu, banyak desa yang tidak mendapat air. Sekarang, dengan sistem ini, enam desa bisa mengairi sawahnya secara adil," ujar Sumartono.
Keenam desa tersebut adalah Juwiring, Kenaiban, Bulurejo, Kwarasan, Tanjung, dan Bolopleret.
Agar distribusi tetap terkendali, forum menunjuk seorang juru kunci bendungan. Ia bertugas mengawasi pembagian air dan memastikan tidak ada petani yang mengambil lebih banyak dari jatahnya.
Dengan sistem ini, konflik antarpetani yang dulunya sering terjadi akibat perebutan air bisa ditekan.
Baca juga: Ubah Sampah Jadi Berkah, Kisah Bank Sampah Semutharjo Selamatkan Sungai Pusur
Setelah bertahun-tahun berjuang, hasil kerja keras para relawan mulai terlihat. Kini, lebih dari 80 persen lahan yang dulu tidak terairi telah kembali produktif. Desa-desa sekitar yang dulunya acuh tak acuh soal irigasi pun jadi peduli. Para petani yang sebelumnya hanya berkeluh kesah tanpa paham akar permasalahan sekarang jadi mengerti.
Menurut Sumartono, keberadaan forum ini tidak hanya mengalirkan air, tetapi juga mengubah pola pikir petani.
"Dulu, kalau air habis, petani hanya bilang ‘yah airnya kurang’. Padahal airnya ada, hanya tidak dikelola dengan baik," ujarnya.
Dengan sistem irigasi baik, Sumartono mengungkapkan, hasil pertanian meningkat secara signifikan.
"Sekarang satu hektare sawah bisa menghasilkan Rp 40-45 juta per musim panen. Petani tidak lagi bergantung pada pompa diesel," tambahnya.
Baca juga: Sekolah Lapang Pertanian Dorong Petani sebagai Garda Depan Konservasi Air
Air yang mengalir alami melalui irigasi juga membantu menghemat biaya pertanian. Petani tidak perlu lagi membeli solar atau gas untuk mengoperasikan pompa air.
Selain itu, lingkungan sekitar menjadi lebih hijau. Sawah yang sebelumnya mengering kini kembali subur dengan tanaman padi yang tumbuh lebat.
Meski banyak perubahan positif, tantangan masih ada. Hingga kini, tidak ada bantuan rutin dari pemerintah untuk operasional FRI. Semua biaya perawatan masih ditanggung oleh petani melalui sistem urunan dan gotong royong.
Selain itu, perubahan iklim menjadi tantangan besar. Saat musim kemarau panjang, debit air yang masuk ke bendungan menurun drastis. Namun, relawan tetap berupaya membagi air seadil mungkin.
"Kalau debit air rendah, kami harus membuat jadwal lebih ketat. Ada desa yang harus menunggu lebih lama, dan ini sering jadi tantangan," ujar Sumartono.
Meski begitu, semangat gotong royong tetap menjadi kekuatan utama. Bagi para relawan, Jogo Toya tidak hanya soal menjaga aliran air, tetapi juga mempertahankan kemandirian petani.
"Apa yang kami lakukan ini dengan ikhlas. Harapannya, usaha ini bisa memberi manfaat bagi petani, agar air bisa terus menghidupi sawah mereka. Selama kami masih ada, air harus tetap mengalir," kata Sumartono tersenyum.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya