JUWIRING, KOMPAS.com – Matahari mulai meredup di langit Kecamatan Juwiring, Klaten, Jawa Tengah, saat jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Sisa-sisa sinarnya masih terasa hangat di hamparan sawah yang terbentang luas.
Di Bendung Bagor, Ketua Forum Relawan Irigasi (FRI) Jogo Toya Kamulyan Sumartono berdiri di bawah bangunan kecil yang menaungi roda pengatur bendungan.
Dengan kedua tangannya, ia memutar tuas besar, membuka aliran air yang mengalir ke sawah-sawah petani di hilir. Bersama relawan lainnya, ia memastikan pasokan air terus terdistribusi dengan baik ke sawah-sawah yang dulu kering dan nyaris tak terpakai.
"Setiap hari kami pastikan air terbagi merata. Kalau tidak dikontrol, bisa terjadi perebutan air antarpetani," katanya sambil terus mengawasi arus air yang mengalir dari bendungan.
Namun, kondisi tersebut bukan terjadi dalam waktu singkat. Selama lebih dari dua dekade, petani di hilir Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur harus berjuang mendapatkan air.
Sumartono bercerita, sebelum ada FRI, banyak lahan pertanian yang mangkrak akibat sistem irigasi tidak berfungsi. Saluran air tertutup sedimen dan banyak yang bocor sehingga suplai air tidak bisa sampai ke sawah.
Baca juga: Menjaga Anggrek, Menjaga Air
Sistem irigasi di wilayah hilir Sub DAS Pusur sempat mengalami kerusakan parah. Saluran air yang sebelumnya menghidupi sawah tertutup sedimen, bocor, bahkan ada yang dialihfungsikan menjadi jalanan desa.
Ketiadaan mantri pengairan dari pemerintah semakin memperburuk keadaan. Padahal, peran tersebut masih dibutuhkan.
Karena nihilnya sistem irigasi yang baik, banyak petani kala itu menggunakan pompa diesel untuk menyedot air tanah. Sayangnya, metode ini memakan biaya yang tidak sedikit sehingga petani menyerah untuk bertani. Akibatnya, banyak persawahan mangkrak, berubah jadi lahan tidur.
“Dulu, hampir setiap sawah punya sumur sendiri. Suara mesin diesel meraung dari pagi sampai malam. Namun, karena biayanya mahal, banyak petani berhenti bertani,” kenang Sumartono.
Baca juga: Cerita Sukses Desa Mundu Klaten yang Berhasil Ubah Limbah Jadi Berkah
Kondisi tersebut mendorong petani untuk bertindak. Dengan semangat gotong royong, mereka membentuk FRI Jogo Toya Kamulyan.
Dalam bahasa Jawa, Jogo Toya berarti "menjaga air". Filosofi ini mengajarkan bahwa air tidak hanya sumber daya, tetapi juga warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang.
Dengan peralatan seadanya, para relawan mulai membersihkan saluran irigasi yang tersumbat lumpur dan sedimen. Tidak ada anggaran khusus, hanya patungan dari para petani dan bantuan alat berat dari PT Tirta Investama (Danone-AQUA).
"AQUA membantu kami dengan menyediakan eskavator untuk normalisasi irigasi. Lumpur-lumpur yang menyumbat bisa dikeruk lebih cepat," kata Sumartono.
Tak hanya membersihkan bendungan, forum ini juga menciptakan sistem pembagian air yang adil. Setiap desa mendapat jatah air selama 24 jam dalam satu minggu dan diawasi ketat untuk mencegah penyalahgunaan.
"Dulu, banyak desa yang tidak mendapat air. Sekarang, dengan sistem ini, enam desa bisa mengairi sawahnya secara adil," ujar Sumartono.
Keenam desa tersebut adalah Juwiring, Kenaiban, Bulurejo, Kwarasan, Tanjung, dan Bolopleret.
Agar distribusi tetap terkendali, forum menunjuk seorang juru kunci bendungan. Ia bertugas mengawasi pembagian air dan memastikan tidak ada petani yang mengambil lebih banyak dari jatahnya.
Dengan sistem ini, konflik antarpetani yang dulunya sering terjadi akibat perebutan air bisa ditekan.
Baca juga: Ubah Sampah Jadi Berkah, Kisah Bank Sampah Semutharjo Selamatkan Sungai Pusur
Setelah bertahun-tahun berjuang, hasil kerja keras para relawan mulai terlihat. Kini, lebih dari 80 persen lahan yang dulu tidak terairi telah kembali produktif. Desa-desa sekitar yang dulunya acuh tak acuh soal irigasi pun jadi peduli. Para petani yang sebelumnya hanya berkeluh kesah tanpa paham akar permasalahan sekarang jadi mengerti.
Menurut Sumartono, keberadaan forum ini tidak hanya mengalirkan air, tetapi juga mengubah pola pikir petani.
"Dulu, kalau air habis, petani hanya bilang ‘yah airnya kurang’. Padahal airnya ada, hanya tidak dikelola dengan baik," ujarnya.
Dengan sistem irigasi baik, Sumartono mengungkapkan, hasil pertanian meningkat secara signifikan.
"Sekarang satu hektare sawah bisa menghasilkan Rp 40-45 juta per musim panen. Petani tidak lagi bergantung pada pompa diesel," tambahnya.
Baca juga: Sekolah Lapang Pertanian Dorong Petani sebagai Garda Depan Konservasi Air
Air yang mengalir alami melalui irigasi juga membantu menghemat biaya pertanian. Petani tidak perlu lagi membeli solar atau gas untuk mengoperasikan pompa air.
Selain itu, lingkungan sekitar menjadi lebih hijau. Sawah yang sebelumnya mengering kini kembali subur dengan tanaman padi yang tumbuh lebat.
Meski banyak perubahan positif, tantangan masih ada. Hingga kini, tidak ada bantuan rutin dari pemerintah untuk operasional FRI. Semua biaya perawatan masih ditanggung oleh petani melalui sistem urunan dan gotong royong.
Selain itu, perubahan iklim menjadi tantangan besar. Saat musim kemarau panjang, debit air yang masuk ke bendungan menurun drastis. Namun, relawan tetap berupaya membagi air seadil mungkin.
"Kalau debit air rendah, kami harus membuat jadwal lebih ketat. Ada desa yang harus menunggu lebih lama, dan ini sering jadi tantangan," ujar Sumartono.
Meski begitu, semangat gotong royong tetap menjadi kekuatan utama. Bagi para relawan, Jogo Toya tidak hanya soal menjaga aliran air, tetapi juga mempertahankan kemandirian petani.
"Apa yang kami lakukan ini dengan ikhlas. Harapannya, usaha ini bisa memberi manfaat bagi petani, agar air bisa terus menghidupi sawah mereka. Selama kami masih ada, air harus tetap mengalir," kata Sumartono tersenyum.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya