BOYOLALI, KOMPAS.com – Hawa dingin langsung terasa begitu tim Kompas.com tiba di Dukuh Gumuk, Desa Mriyan, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Boyolali, Selasa (18/2/2025).
Desa kecil itu terletak di lereng timur Gunung Merapi, di atas ketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pemandangan di sini begitu memukau. Di sisi timur, Gunung Lawu dan pegunungan hijau berdiri gagah. Sementara di barat, Gunung Bibi menjadi benteng alami dari erupsi Gunung Merapi.
Namun, Dukuh Gumuk tidak hanya indah. Desa kecil ini juga menjadi garda depan dalam menjaga keberlanjutan sumber daya air di Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Pusur lewat konservasi anggrek.
Memasuki Dukuh Gumuk, hampir setiap rumah memamerkan keindahan dari tanaman anggrek. Lebih dari sekadar penghias halaman, tanaman ini rupanya menjadi bagian dari program konservasi yang dijalankan Kelompok Karya Muda sejak 2011.
Baca juga: Berwisata di Dukuh Gumuk Boyolali, Bisa Trekking hingga Adopsi Anggrek
Ketua Kelompok Karya Muda Joko Susanto, awalnya tidak pernah menyangka akan jatuh cinta pada anggrek. Ketertarikannya baru tumbuh setelah diajak teman naik ke Gunung Merapi dan melihat anggrek-anggrek liar di habitat aslinya.
“Saya awalnya tidak tertarik sama sekali. Namun, setelah melihat langsung kondisi hutan yang mulai gundul dan anggrek-anggrek banyak dijual bebas, saya merasa ada yang harus diselamatkan,” ucapnya.
Sejak itu, Joko mulai mengumpulkan anggrek dari sekitar desa dan membentuk komunitas konservasi yang kini telah berhasil melestarikan sekitar 45 spesies anggrek liar, termasuk Vanda tricolor yang hampir punah. Di kawasan Merapi sendiri terdapat lebih dari 90 spesies anggrek
Untuk mendukung keberhasilan program konservasi, kelompok itu membangun greenhouse berukuran 4x6 meter di tengah desa. Di sini, anggrek-anggrek dibudidayakan menggunakan metode kultur jaringan sebelum ditanam kembali di hutan Merapi.
Baca juga: Upaya Konservasi Anggrek Dendrobium capra Jawa Timur yang Terancam Punah
Metode kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman secara aseptik menggunakan media khusus di laboratorium. Dalam proses ini, jaringan kecil dari tanaman induk diambil dan dibiakkan dalam botol kultur yang berisi media nutrisi lengkap.
Bibit anggrek yang dihasilkan melalui metode tersebut bebas dari penyakit, seragam dalam pertumbuhannya, dan mampu diproduksi dalam jumlah besar.
Metode kultur jaringan juga memungkinkan pembibitan anggrek tanpa harus mengambil tanaman langsung dari alam. Dengan begitu, populasi anggrek liar di habitat aslinya tetap terjaga.
“Prosesnya cukup lama. Satu botol kultur bisa menghasilkan hingga 500 bibit, tapi butuh waktu sekitar setahun untuk siap ditanam. Proses ini membutuhkan kesabaran tinggi. Kalau tidak ada semut yang membantu penyerbukan, kami lakukan manual. Prosesnya bisa sampai delapan bulan sampai siap dipanen,” jelas Joko.
Baca juga: Melakukan Konservasi dengan Mengembalikan Anggrek yang Pernah Hilang dari Merapi
Setelah siap, bibit anggrek kemudian ditempelkan pada pohon-pohon inang di kawasan hutan. Pohon-pohon tersebut diberi label konservasi sebagai tanda bahwa mereka tidak boleh ditebang.
“Melalui metode ini, kami memastikan kelestarian hutan tetap terjaga dan longsor bisa dicegah,” tambah Joko.
Program konservasi anggrek di Dukuh Gumuk merupakan bagian dari upaya lebih besar dalam menjaga kelestarian sumber daya air di Sub DAS Pusur secara terintegrasi. Kolaborasi ini melibatkan Pabrik AQUA Klaten, Pusur Institute, Lembaga Pembinaan Teknologi Pedesaan (LPTP), serta masyarakat setempat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya