Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/04/2025, 11:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Kenaikan tarif yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk barang impor ke negaranya bisa menjadi katalis untuk pengembangan energi terbarukan global.

Hal tersebut disampaikan analis lembaga think tank Ember, Euan Graham, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (8/4/2025).

Menurut Graham, kenaikan tarif impor yang diterapkan Trump bisa memicu kekhawatiran mengenai ketahanan energi masing-masing negara.

Baca juga: Apa Dampak Tarif Trump ke Sektor Lapangan Golf?

Saat ini, kenaikan tarif tersebut telah membuat pasar energi dan ekuitas anjlok, sekaligus memicu kekhawatiran tentang resesi global.

Graham mengatakan, meskipun masih terlalu dini untuk mengatakan apakah dampak tarif Trump akan memengaruhi permintaan listrik tahun ini, energi terbarukan tetap menjadi sektor yang diuntungkan.

"Negara-negara lebih memikirkan keamanan dan ketahanan energi mereka daripada sebelumnya dan saya pikir itu berarti tenaga terbarukan dalam negeri seperti angin dan matahari menjadi semakin menarik," kata Graham.

Di sisi lain, Andreas Sieber dari lembaga 350.org menegaskan, kebijakan tarif Trump tidak akan menghentikan transisi energi ke sumber bersih.

Baca juga: IHSG Anjlok Usai Tarif Trump, Apa yang Perlu Dikhawatirkan?

Dalam tulisannya di Climate Home News, Sieber menyampaikan porsi AS terhadap perdagangan teknologi bersih global sangatlah sedikit untuk mendikte kemauannya di energi terbarukan.

Menurut Badan Energi Internasional atau IEA, negara-negara berkembang akan mendominasi pasar energi bersih pada 2030.

Negara-negara berkembang akan menjadi penyumbang terbesar kapasitas terpasang energi bersih yakni 70 persen pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), 60 persen pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), dan 60 persen kapasitas penyimpanan baterai.

"AS tidak hanya mengisolasi diri terhadap energi bersih selama sepekan terakhir, tetapi telah melakukannya selama 10 tahun terakhir," ujar Sieber.

Baca juga: Sri Mulyani Beri Keringanan Pajak sebagai Respons Kebijakan Tarif AS

Dia menyampaikan, saat ini China telah menjadi produsen sekaligus eksportir PLTS, turbin angin, dan kendaraan listrik terbesar di dunia.

Dari jumlah teknologi bersih yang diproduksi China, hanya 4 persen yang lari ke AS.

China mengekspor 235,93 gigawatt (GW) modul surya pada 2024, pasar yang dikuasainya sekaligus tak tertandingi.

"Dalam perlombaan teknologi bersih global, AS menjadi pemain yang menyusut dan terisolasi," ujar Sieber.

Baca juga: Adik Elon Musk Kecam Tarif Trump: Pajak Permanen untuk Konsumen AS

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau