Studi oleh peneliti dari Universitas Auckland, Selandia Baru dan Universitas Xiamen, China mengagetkan--kalau bukan memaksa negara-negara di dunia, terutama produsen kendaraan listrik, memeriksa kembali teknologi yang mereka miliki.
Studi yang menggunakan data dari 26 negara selama 15 tahun ini mengejutkan. Ternyata meningkatnya penggunaan kendaraan listrik malah bikin emisi CO2 melonjak. Kok bisa?
Sebab, di sejumlah negara, kendaraan listrik masih menggunakan listrik yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara atau minyak.
Penelitian ini mengabarkan bahwa dunia harus ajeg bermigrasi ke energi terbarukan--dan bukan tergoda untuk mengikuti hasutan Donald Trump untuk kembali ke energi kotor: minyak, gas dan batu bara.
Hanya ketika pangsa global pembangkit listrik dari energi terbarukan mencapai 48 persen, penggunaaan kendaraan listrik bakal menyumbang secara positif dalam mengurangi emisi CO2, sebut hasil penelitian itu (Global EV Adoption Fails to Cut CO2, www.auckdland.ac.nz).
Kabar baiknya dunia berjalan ke arah yang tepat dalam mengarahkan biduk ke sumber energi terbarukan. Pada 2024, pangsa energi terbarukan menembus 32 persen--rekor tertinggi menurut lembaga think tank energi, Ember.
Mengutip "Energy Monitor", angka ini menunjukkan kemajuan di tengah ketidakpastian ekonomi global dan kekhawatiran tentang potensi resesi--yakni pertumbuhan ekonomi minus dalam dua kuartal berturut-turut.
Penguasaan energi terbarukan itu telah melampaui pembangkit listrik tenaga gas (22 persen), tapi masih lebih kecil dari sumbangan batu bara.
Komoditas ini memasok 34 persen listrik global tahun 2024. Patut disyukuri karena kontribusi batu bara telah menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 36 persen.
Adapun tenaga nuklir menyumbang sembilan persen listrik gobal. Belakangan energi baru yang kontroversial karena mudharatnya ini makin dilirik karena dianggap akan menstabilisasi ketahanan dan keberlanjutan energi.
Baca juga: Jejak Karbon dan Pola Makan
Rekor 32 persen yang dicatat Ember, bagaimana pun adalah dampak kerja bareng secara global yang bertumpu pada Perjanjian Paris 2015. Ini tak boleh kendor. Negara-negara di dunia harus merawat komitmen bersama tadi.
Buat Indonesia, jalan meningkatkan sumbangan energi terbarukan lebih sulit. Bauran energi baru dan terbarukan di negeri kita cuma 12,5; persen.
Konteks domestik berupa efisiensi anggaran serta perubahan geopolitik ditaksir akan berpengaruh terhadap kebijakan energi Prabowo Subianto.
Tanda-tanda yang mengemuka, tenaga dan anggaran kemungkinan bakal dikerahkan untuk mengeksplorasi energi fosil. Energi terbarukan plus energi baru akan menjadi nomor sekian dibanding energi fosil demi ketahanan energi domestik dan cekaknya finansial pemerintah.
Sebut saja angka 32 persen itu sebagai tabungan. Saban tahun negara-negara di bawah langit yang makin kotor ini dituntut mencicil sumbangannya untuk menaikkan penguasaan energi terbarukan.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya