Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Serangga, Ragam Faktor yang Dipicu Manusia Penyebabnya

Kompas.com - 29/04/2025, 10:00 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Serangga menghilang dengan kecepatan yang mengkhawatirkan di seluruh dunia.

Penelitian tentang serangga telah menunjukkan bahwa populasi serangga telah menurun hingga 75 persen dalam waktu kurang dari tiga dekade.

Menurut penelitian baru yang dipimpin oleh Universitas Binghamton di New York, intensifikasi pertanian berada di puncak daftar alasan mengapa populasi serangga menurun.

Kendati demikian, studi tersebut juga mencatat ada banyak faktor pendorong lain yang saling terkait dalam penurunan populasi.

Mengutip laman resmi Universitas Binghamton, Senin (28/4/2025), tim peneliti menganalisis lebih dari 175 tinjauan ilmiah yang mencakup 500 lebih hipotesis tentang berbagai faktor pendorong penurunan serangga.

Baca juga: Penelitian: Semua Kehilangan Keanekaragaman Hayati Disebabkan Manusia

"Kami memutuskan untuk mengambil pendekatan dengan membaca setiap makalah yang berupa tinjauan atau meta-analisis,” kata Christopher Halsch, seorang peneliti pascadoktoral di Binghamton dan penulis utama makalah tersebut.

Setelah menganalisis banyak kemungkinan penyebab penurunan populasi serangga, penelitian menemukan bahwa intensifikasi pertanian adalah faktor yang paling sering diidentifikasi.

Dampak negatif dari intensifikasi pertanian ini terutama disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dan penggunaan insektisida.

Namun, mereka juga menemukan bahwa masalah penurunan populasi serangga adalah isu yang rumit dengan berbagai penyebab yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu sama lain, sehingga tidak bisa disederhanakan hanya dengan membuat peringkat faktor-faktor penyebab.

Contohnya, iklim mungkin menjadi pendorong penurunan serangga, tetapi ada pendorong-pendorong individual di bawah payung iklim, seperti curah hujan ekstrem, kebakaran, dan suhu, yang mana faktor-faktor ini sendiri dapat memengaruhi pendorong lain.

Berbagai faktor penyebab penurunan serangga membentuk sebuah jaringan yang kompleks di mana berbagai elemen saling terkait dan dampaknya bisa saling memperkuat

Selain itu pemahaman tentang penyebab penurunan serangga mungkin belum lengkap karena banyak potensi ancaman yang telah diidentifikasi oleh organisasi seperti IUCN yang belum mendapatkan perhatian cukup dalam penelitian ilmiah terkini.

"Tidak satu pun dari makalah-makalah tersebut menyebutkan bencana alam," kata Asisten Profesor Ilmu Biologi Eliza Grames.

"Tidak ada makalah yang melihat gangguan dan intrusi manusia, atau dampak perang terhadap serangga, atau jalur kereta api. Jadi, ada area-area besar yang secara umum kita ketahui sebagai ancaman bagi keanekaragaman hayati, tetapi literatur tentang penurunan serangga benar-benar hanya fokus pada beberapa pemicu stres besar, alih-alih mendalami yang lebih spesifik," terangnya.

Baca juga: Kearifan Lokal Perlu Dilibatkan dalam Penanggulangan Krisis Iklim

Selain itu, para peneliti menemukan bahwa penelitian tentang penurunan serangga cenderung tidak merata, dengan penekanan yang berlebihan pada kelompok serangga yang populer dan menarik seperti lebah dan kupu-kupu.

Hal ini menjadi masalah karena kelompok-kelompok ini hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan keanekaragaman serangga. Penelitian yang bias itu mungkin tidak memberikan gambaran yang akurat dan menyeluruh tentang kondisi populasi serangga secara umum.

Peneliti menyimpulkan bahwa untuk berhasil melestarikan serangga, kita tidak bisa hanya fokus pada penanganan satu atau dua penyebab utama saja.

Melainkan perlu memahami dan mengatasi keseluruhan sistem kompleks yang menyebabkan penurunan populasi serangga, dan ini memerlukan pendekatan yang beragam dan melibatkan berbagai macam tindakan yang dilakukan secara simultan.

"Salah satu poin penting yang coba kami sampaikan dalam makalah ini adalah bahwa tindakan konservasi yang terlalu bias terhadap serangga tertentu atau pemicu stres tertentu kemungkinan akan berdampak negatif bagi banyak serangga lainnya," kata Halsch.

Hasil studi dipublikasikan di BioScience.

Baca juga: Jagat Satwa Nusantara TMII Hadirkan Wajah Baru Dunia Air Tawar dan Serangga

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau