Peningkatan signifikan dalam tutupan vegetasi menjadi faktor kunci dalam mengurangi masalah erosi dan sedimentasi ini.
Meskipun demikian, studi ini juga menyoroti adanya pertukaran yang perlu dipertimbangkan, di mana peningkatan evapotranspirasi akibat tutupan vegetasi yang lebih luas menyebabkan penurunan limpasan air yang tersedia untuk pembangkit listrik tenaga air.
Oleh karena itu, para peneliti menekankan perlunya pertimbangan yang cermat terhadap faktor-faktor ini dalam menyeimbangkan upaya restorasi ekologis dengan kebutuhan produksi energi.
Secara lebih luas, pelajaran yang diperoleh dari keberhasilan restorasi ekologis di Sungai Kuning memberikan wawasan berharga bagi pengelola waduk di seluruh dunia yang menghadapi masalah sedimentasi serupa.
Penerapan strategi pengelolaan daerah aliran sungai yang terintegrasi ini memiliki potensi untuk diterapkan di berbagai wilayah, menawarkan kerangka kerja adaptif bagi negara-negara yang berupaya mengoptimalkan sumber daya pembangkit listrik tenaga air mereka.
Meskipun kapasitas penyimpanan sedimen Waduk Xiaolangdi diproyeksikan akan habis pada tahun 2024, kolaborasi antara praktik ekologis dan pengelolaan sedimen memberikan harapan untuk keberlanjutan infrastruktur pembangkit listrik tenaga air ini di masa depan.
Pertanyaan mendasar yang perlu terus dijawab adalah bagaimana praktik pengelolaan daerah aliran sungai dapat diterapkan secara efektif untuk menyeimbangkan antara kesehatan ekologis dan produksi energi, tidak hanya untuk Waduk Xiaolangdi tetapi juga untuk fasilitas pembangkit listrik tenaga air lainnya di seluruh dunia. (Ade S/National Geographic Indonesia)
Baca juga: Bagaimana Pompa Air Tenaga Surya Membebaskan Perempuan di Pandan Indah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya