DI TANAH yang dijuluki zamrud khatulistiwa, kekayaan sumber daya alam (SDA) seolah tak pernah habis digali.
Dari tambang emas di Papua, batu bara di Kalimantan, hingga minyak bumi di Riau—Indonesia bagaikan negeri yang diciptakan dengan tangan Tuhan yang paling dermawan.
Namun, di balik limpahan potensi itu, muncul pertanyaan mendasar: mengapa kemiskinan dan ketimpangan masih begitu nyata, bahkan di daerah yang kaya SDA?
Mengapa provinsi yang menyumbang triliunan rupiah ke kas negara justru mencatat angka kemiskinan tertinggi?
Dilema ini membawa kita pada satu pertanyaan besar: apakah kekayaan alam Indonesia benar-benar berkah atau justru kutukan?
Kajian akademis global menyebut fenomena ini sebagai "kutukan sumber daya alam" (resource curse), yakni ketika kelimpahan SDA justru membawa negara ke arah stagnasi ekonomi, konflik sosial, dan degradasi lingkungan.
Baca juga: Raja Ampat dan Kutukan Sumber Daya
Teori lain yang berkelindan adalah Dutch Disease, di mana booming komoditas justru melumpuhkan sektor industri lain. Indonesia adalah panggung nyata dari drama multidimensi ini.
Secara kuantitatif, kontribusi SDA terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tak bisa disangkal. Tahun 2023, sektor minerba menyumbang lebih dari Rp 2.198 triliun atau 10,5 persen dari total PDB nasional.
Sektor perikanan tumbuh 2,25 persen, dengan nilai PDB mencapai Rp 407 triliun. Bahkan hilirisasi nikel mampu meningkatkan nilai ekspor nikel hingga 6,6 kali lipat dalam satu dekade terakhir. Ini menjadi bukti bahwa kekayaan alam dapat menjadi motor ekonomi.
Lebih jauh, SDA juga menjadi sumber penciptaan lapangan kerja. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyerap lebih dari 40 juta pekerja, menjadikannya sektor dengan penyerapan tenaga kerja terbesar.
Meskipun demikian, dominasi pekerjaan informal (87 persen) dan tingkat pendidikan rendah (mayoritas SLTP ke bawah) mengindikasikan bahwa pekerjaan yang tercipta belum sepenuhnya bermartabat atau berkelanjutan.
Pendapatan negara dan daerah dari sektor SDA juga menjadi penopang utama anggaran pembangunan.
Baca juga: Pesan dari Raja Ampat untuk Kepulauan Riau: Jangan Gadai Pulau demi Tambang
Dana bagi hasil (DBH), pajak, dan royalti dari sektor tambang dan migas menyuplai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Namun, seperti akan dibahas berikutnya, manfaat ini tidak selalu merata, dan tidak serta-merta menurunkan angka kemiskinan.
Teori resource curse menjelaskan bagaimana negara-negara yang kaya SDA justru rentan terhadap stagnasi ekonomi, korupsi, dan konflik. Indonesia menunjukkan gejala-gejala itu.
Ketergantungan tinggi pada ekspor komoditas menyebabkan ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap volatilitas harga global.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya