Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Aliman Shahmi
Dosen

Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar

Kekayaan Sumber Daya di Indonesia: Antara Berkah dan Kutukan

Kompas.com - 17/06/2025, 15:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TANAH yang dijuluki zamrud khatulistiwa, kekayaan sumber daya alam (SDA) seolah tak pernah habis digali.

Dari tambang emas di Papua, batu bara di Kalimantan, hingga minyak bumi di Riau—Indonesia bagaikan negeri yang diciptakan dengan tangan Tuhan yang paling dermawan.

Namun, di balik limpahan potensi itu, muncul pertanyaan mendasar: mengapa kemiskinan dan ketimpangan masih begitu nyata, bahkan di daerah yang kaya SDA?

Mengapa provinsi yang menyumbang triliunan rupiah ke kas negara justru mencatat angka kemiskinan tertinggi?

Dilema ini membawa kita pada satu pertanyaan besar: apakah kekayaan alam Indonesia benar-benar berkah atau justru kutukan?

Kajian akademis global menyebut fenomena ini sebagai "kutukan sumber daya alam" (resource curse), yakni ketika kelimpahan SDA justru membawa negara ke arah stagnasi ekonomi, konflik sosial, dan degradasi lingkungan.

Baca juga: Raja Ampat dan Kutukan Sumber Daya

Teori lain yang berkelindan adalah Dutch Disease, di mana booming komoditas justru melumpuhkan sektor industri lain. Indonesia adalah panggung nyata dari drama multidimensi ini.

Potret berkah: Kontribusi ekonomi dan pembangunan

Secara kuantitatif, kontribusi SDA terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tak bisa disangkal. Tahun 2023, sektor minerba menyumbang lebih dari Rp 2.198 triliun atau 10,5 persen dari total PDB nasional.

Sektor perikanan tumbuh 2,25 persen, dengan nilai PDB mencapai Rp 407 triliun. Bahkan hilirisasi nikel mampu meningkatkan nilai ekspor nikel hingga 6,6 kali lipat dalam satu dekade terakhir. Ini menjadi bukti bahwa kekayaan alam dapat menjadi motor ekonomi.

Lebih jauh, SDA juga menjadi sumber penciptaan lapangan kerja. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyerap lebih dari 40 juta pekerja, menjadikannya sektor dengan penyerapan tenaga kerja terbesar.

Meskipun demikian, dominasi pekerjaan informal (87 persen) dan tingkat pendidikan rendah (mayoritas SLTP ke bawah) mengindikasikan bahwa pekerjaan yang tercipta belum sepenuhnya bermartabat atau berkelanjutan.

Pendapatan negara dan daerah dari sektor SDA juga menjadi penopang utama anggaran pembangunan.

Baca juga: Pesan dari Raja Ampat untuk Kepulauan Riau: Jangan Gadai Pulau demi Tambang

Dana bagi hasil (DBH), pajak, dan royalti dari sektor tambang dan migas menyuplai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Namun, seperti akan dibahas berikutnya, manfaat ini tidak selalu merata, dan tidak serta-merta menurunkan angka kemiskinan.

Kutukan tersembunyi: Ketergantungan dan ketimpangan

Teori resource curse menjelaskan bagaimana negara-negara yang kaya SDA justru rentan terhadap stagnasi ekonomi, korupsi, dan konflik. Indonesia menunjukkan gejala-gejala itu.

Ketergantungan tinggi pada ekspor komoditas menyebabkan ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap volatilitas harga global.

Harga batu bara, CPO, dan nikel yang fluktuatif telah menciptakan ketidakpastian pendapatan negara, mengganggu perencanaan fiskal, dan memicu inflasi.

Fenomena Dutch Disease turut memperparah situasi. Booming SDA menyebabkan apresiasi mata uang, yang pada gilirannya membuat sektor manufaktur dan ekspor lain kehilangan daya saing.

Ini terlihat dari dominasi produk mentah dalam ekspor dan rendahnya kontribusi sektor industri pengolahan.

Meskipun hilirisasi mulai digencarkan, ketergantungan pada pasar tunggal seperti China menimbulkan risiko baru.

Ketimpangan juga menjadi manifestasi nyata dari kutukan SDA. Provinsi kaya sumber daya seperti Aceh dan Sumsel masih mencatat angka kemiskinan tinggi.

Ketimpangan pendapatan, akses infrastruktur, dan pendidikan antarwilayah semakin melebar. Di tingkat mikro, masyarakat lokal seringkali termarjinalkan, menjadi buruh kasar di tengah kekayaan yang mengelilingi mereka.

Eksploitasi besar-besaran terhadap SDA kerap dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan.

Baca juga: Pertarungan Emas Hijau Vs Nikel di Raja Ampat

Deforestasi, polusi tambang, dan kehilangan keanekaragaman hayati menjadi konsekuensi yang terus berulang.

Kasus Teluk Buyat, Sungai Freeport, dan pencemaran laut di Bangka serta Raja Ampat hanyalah sebagian dari daftar panjang kerusakan ekologis yang menjadi biaya tak terlihat dari pertumbuhan ekonomi berbasis ekstraksi.

Pertambangan batu bara di Kalimantan Timur, misalnya, menunjukkan ironi antara pembangunan dan kerusakan.

Lubang-lubang tambang yang menganga, air sungai yang keruh, dan udara yang tercemar menggambarkan bagaimana pertumbuhan ekonomi dibayar mahal oleh masyarakat dan lingkungan sekitar.

Tidak jarang konflik lahan, kecemburuan sosial, dan ketegangan antara warga lokal dan perusahaan mengemuka, memperlihatkan wajah lain dari “pembangunan”.

Kerusakan lingkungan ini tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga menggerus sumber penghidupan masyarakat seperti nelayan dan petani.

Bahkan dalam jangka panjang, biaya pemulihan lingkungan dan dampak kesehatan dapat melampaui nilai ekonomi dari hasil tambang atau perkebunan itu sendiri.

Kekayaan sumber daya alam bukanlah kutukan yang tak terelakkan, tetapi amanah besar yang menuntut tata kelola cerdas dan berkeadilan.

Untuk mengubah “kutukan” menjadi “berkah”, Indonesia harus mengambil langkah tegas dan terstruktur: memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola, mendiversifikasi ekonomi, dan berinvestasi dalam kualitas sumber daya manusia.

Strategi hilirisasi harus dikembangkan tidak hanya untuk menambah nilai ekonomi, tetapi juga menciptakan ekosistem industri berbasis inovasi.

Restorasi lingkungan, pengembangan energi terbarukan, serta pemberdayaan masyarakat lokal menjadi syarat mutlak bagi keberlanjutan. Konflik SDA hanya bisa diselesaikan melalui keadilan distribusi manfaat dan kepastian hukum.

Indonesia sedang berdiri di persimpangan sejarah. Apakah kekayaan alam ini akan menjadi fondasi kemakmuran atau sumber kesengsaraan?

Jawabannya bergantung pada keputusan kolektif kita hari ini. Dan sejarah akan mencatat apakah kita memilih jalan keberlanjutan atau mengulang pola kutukan masa lalu.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Kabul, Afghanistan: Kota Pertama di Dunia yang Mungkin Bakal Kehabisan Air
Kabul, Afghanistan: Kota Pertama di Dunia yang Mungkin Bakal Kehabisan Air
Swasta
Menteri LH: Teknologi Kunci Atasi Karhutla, Deteksi Dini hingga Modifikasi Cuaca
Menteri LH: Teknologi Kunci Atasi Karhutla, Deteksi Dini hingga Modifikasi Cuaca
Pemerintah
Tinggal 3 Tahun, Kita Kehabisan Waktu Atasi Krisis Iklim jika Tak Gerak Cepat
Tinggal 3 Tahun, Kita Kehabisan Waktu Atasi Krisis Iklim jika Tak Gerak Cepat
LSM/Figur
Dukung Komitmen Iklim Nasional, TSE Group Resmikan Pembangkit Biogas Kurangi Emisi dan Konsumsi Solar
Dukung Komitmen Iklim Nasional, TSE Group Resmikan Pembangkit Biogas Kurangi Emisi dan Konsumsi Solar
Swasta
eMaggot, Platform Jual Beli Online Maggot untuk Pengolahan Sampah
eMaggot, Platform Jual Beli Online Maggot untuk Pengolahan Sampah
Pemerintah
4.700 Hektare Bekas Lahan Sawit di Tesso Nilo Kembali Ditanami
4.700 Hektare Bekas Lahan Sawit di Tesso Nilo Kembali Ditanami
Pemerintah
Perkuat Sabuk Hijau Hadapi Krisis Iklim, Pemprov DKI Jakarta Tanam 10.000 Mangrove di 4 Pesisir
Perkuat Sabuk Hijau Hadapi Krisis Iklim, Pemprov DKI Jakarta Tanam 10.000 Mangrove di 4 Pesisir
Pemerintah
Dalam 3 Bulan, 4700 Hektare Sawit di Tesso Nilo Telah Dimusnahkan
Dalam 3 Bulan, 4700 Hektare Sawit di Tesso Nilo Telah Dimusnahkan
Pemerintah
Terobosan Formula E, Olahraga Pertama dengan Sertifikasi Net Zero BSI
Terobosan Formula E, Olahraga Pertama dengan Sertifikasi Net Zero BSI
Swasta
Pakar Katakan, Intervensi Iklim di Laut Sia-sia jika Tata Kelolanya Masih Sama Buruknya
Pakar Katakan, Intervensi Iklim di Laut Sia-sia jika Tata Kelolanya Masih Sama Buruknya
LSM/Figur
KLH Luncurkan Waste Crisis Center, Pusat Layanan Pengelolaan Sampah
KLH Luncurkan Waste Crisis Center, Pusat Layanan Pengelolaan Sampah
Pemerintah
ICDX: REC Bukan Cuma Sertifikat, Bisa Jadi Stimulus Capai Target EBT
ICDX: REC Bukan Cuma Sertifikat, Bisa Jadi Stimulus Capai Target EBT
Swasta
Terjadi di Seismic Gap, Gempa Rusia Alarm Bahaya buat Indonesia
Terjadi di Seismic Gap, Gempa Rusia Alarm Bahaya buat Indonesia
LSM/Figur
Ahli Ungkap 2 Hal Penting dalam Konservasi Harimau, Harus Jadi Indikator Kemajuan
Ahli Ungkap 2 Hal Penting dalam Konservasi Harimau, Harus Jadi Indikator Kemajuan
LSM/Figur
KKP Siapkan Peta Nasional Terumbu Karang dan Padang Lamun, Diluncurkan Akhir 2025
KKP Siapkan Peta Nasional Terumbu Karang dan Padang Lamun, Diluncurkan Akhir 2025
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau