JAKARTA, KOMPAS.com — Di tengah perubahan iklim dan semakin terbatasnya lahan pertanian subur, pemanfaatan lahan suboptimal mulai dilihat sebagai peluang.
Mengembangkan komoditas seperti kakao, kopi, dan pinang di lahan sub-optimal ini dinilai dapat menjadi strategi untuk memperkuat ketahanan pangan sekaligus menggerakkan ekonomi pedesaan secara berkelanjutan.
Hal tersebut disampaikan oleh Puji Lestari, Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Baca juga: Wamentan Sudaryono Bongkar Strategi Bulog Ubah Sejarah Ketahanan Pangan RI
Menurut Puji, tiga komoditas itu merupakan komoditas penting untuk mendukung terbukanya lapangan kerja, menghidupkan industri hilir, serta menyumbang devisa negara melalui ekspor.
Saat pendapatan petani meningkat, akses mereka terhadap pangan, pendidikan, dan kesehatan juga membaik.
“Hal ini secara tidak langsung memperkuat pilar aksesibilitas dalam ketahanan pangan nasional,” kata Puji, dikutip dari keterangan tertulis di laman BRIN, Jumat (27/6/2025).
Lahan suboptimal sendiri merupakan lahan yang karena faktor fisik dan iklimnya tidak mampu menghasilkan produksi maksimal. Jenisnya mencakup lahan kering masam, lahan kering beriklim kering, lahan rawa pasang surut, lahan rawa, dan lahan gambut—semuanya tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Meski begitu, Puji menekankan bahwa produktivitas lahan-lahan tersebut masih bisa ditingkatkan melalui inovasi teknologi agronomi seperti ameliorasi tanah, penggunaan varietas adaptif, sistem agroforestri, serta pengelolaan air berbasis konservasi.
Baca juga: IPB Rilis Inovasi Berbasis AI untuk Tingkatkan Ketahanan Pangan
Selain teknologi, sejumlah program pemerintah juga turut bisa memperkuat kapasitas petani. Di antaranya adalah peremajaan tanaman perkebunan rakyat, sertifikasi indikasi geografis, insentif usaha tani, penyediaan bibit unggul, hingga pelatihan teknis.
“Dengan demikian, pengembangan kakao, kopi, dan pinang di lahan suboptimal tidak hanya menjawab keterbatasan lahan produktif, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi perdesaan yang resilien dan berperan dalam ketahanan pangan yang inklusif dan berkelanjutan,” lanjut Puji.
D isisi lain, peneliti BRIN, Busyra B. Saidi, menambahkan bahwa lahan suboptimal banyak ditemukan di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan daerah pesisir.
Indonesia sendiri merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia, dengan produksi lebih dari 650.000 ton per tahun. Sentra produksinya tersebar di Sulawesi, Papua, dan Sumatera.
Selain itu, salah satu pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan kopi di lahan suboptimal adalah sistem agroforestri, menanam kopi bersama pohon lainnya.
Menurutnya pendekatan ini tidak hanya menyuburkan tanah dan menjaga ketersediaan air, tetapi juga menyerap karbon, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan memberikan hasil panen yang beragam.
Baca juga: Tambah Usia, Tambah Hijau: Jakarta Bisa Adopsi Hutan Vertikal dan Pajak Karbon Warga
“Lahan suboptimal yang selama ini dipandang sebagai keterbatasan, sebenarnya menyimpan potensi strategis sebagai tumpuan baru bagi ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi pedesaan,” ujar Busyra.
Terakhir, Busyra mengatakan bahwa kakao, kopi, dan pinang telah terbukti mampu tumbuh baik di lahan-lahan tersebut dan memiliki nilai ekonomi tinggi, baik untuk pasar domestik maupun ekspor.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya