Ketergantungan pada energi fosil tidak hanya membebani fiskal, tapi juga menjauhkan Indonesia dari arah pembangunan energi yang berkelanjutan.
“Kalau Indonesia harus membeli minyak atau LPG dari AS dengan harga di atas yang biasa dibayar Pertamina, itu akan menjadi masalah serius,” ujarnya.
Negosiasi yang mengarah pada impor energi fosil dalam jumlah besar justru berisiko memperpanjang ketergantungan dan memperlambat upaya transisi energi. Padahal, menurut Bhima, mempercepat transisi akan membantu menekan defisit migas dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Selain sektor energi, Bhima juga menyoroti dampak perjanjian tarif ini terhadap sektor pangan.
Ia menyebut, produk pangan dari AS seperti gandum bisa masuk Indonesia dengan tarif 0 persen. Sementara konsumen mungkin bisa menikmati harga mie instan atau roti yang lebih murah, kondisi ini bisa memukul produsen pangan lokal dan mengancam kemandirian pangan nasional.
“Ini menjadi tantangan bagi target swasembada pangan,” ujarnya.
Bhima menambahkan, dalam jangka panjang pemerintah perlu lebih serius mendorong diversifikasi pasar ekspor, terutama ke Uni Eropa melalui EUI-CEPA, serta memperkuat perdagangan intra-ASEAN. Ketergantungan berlebihan pada pasar AS dinilai tidak menguntungkan, karena hasil negosiasinya lebih banyak menguntungkan pihak lawan dagang.
Alih-alih menjadikan impor energi sebagai alat negosiasi, Bhima menilai Indonesia seharusnya melihat peluang dari ekspor komoditas strategis seperti tembaga olahan.
Ia menyebut AS memiliki kepentingan besar terhadap Freeport, dan harapannya produk hilirisasi tembaga dari Indonesia bisa didorong tanpa dikenai tarif tambahan.
“Trump sempat beberapa kali menyebut tembaga,” ujarnya.
Dengan menyoroti besarnya potensi kerugian jangka panjang dari ketergantungan energi fosil, arah kebijakan perdagangan semestinya mendukung penguatan sektor energi bersih dan keberlanjutan, bukan sebaliknya.
Baca juga: Belanja Energi Fosil Rp 251 Triliun Bisa Ganggu Komitmen Iklim Indonesia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya