Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Campak Melonjak, Ahli Minta Mereka yang Belum Segera Vaksinasi

Kompas.com, 21 Juli 2025, 19:41 WIB
Monika Novena,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sekelompok ilmuwan telah menyuarakan kekhawatiran atas lonjakan kasus campak yang mengkhawatirkan dan tajam di Amerika Serikat dan seluruh dunia.

Sebuah koalisi ahli virologi manusia dan hewan, yang secara kolektif merupakan bagian dari Jaringan Virus Global (GVN) dari lebih dari 40 negara, mengatakan bahwa lonjakan kasus ini disebabkan oleh menurunnya tingkat vaksinasi.

Peningkatan kasus ini mengikis kemajuan kesehatan masyarakat yang telah dicapai selama beberapa dekade terakhir.

Mengutip Down to Earth, Jumat (18/7/2025), campak, salah satu virus paling menular yang diketahui manusia, kini menyebar di seluruh AS.

Negara ini baru-baru ini melaporkan jumlah kasus tertinggi yang tercatat dalam 30 tahun terakhir. Ada sekitar 1.300 kasus terkonfirmasi yang dilaporkan dari 40 negara bagian tahun ini saja.

Baca juga: Kesehatan Ibu Hamil Terancam akibat Krisis Iklim

Wabah ini menggarisbawahi betapa cepatnya virus dapat menyebar, terutama di antara anak-anak yang tidak divaksinasi. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) melaporkan bahwa tingkat vaksinasi taman kanak-kanak telah turun di bawah 93 persen secara nasional selama tahun ajaran 2023-2024," seperti yang ditulis dalam pernyataan GVN.

"Sementara pengecualian nonmedis telah naik ke rekor 3,3 persen. Angka-angka ini di bawah ambang batas 95 persen yang dibutuhkan untuk mencapai kekebalan kelompok guna mencegah wabah,” tulis pernyataan itu lagi.

Para ilmuwan juga mencatat bahwa kasus campak melonjak di Afrika, Eropa, dan Asia Tenggara, dan diperburuk oleh perang, pengungsian, sistem kesehatan yang lemah, dan program vaksinasi yang terganggu.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan CDC mencatat bahwa lebih dari 10,3 juta kasus dilaporkan di seluruh dunia pada tahun 2023, meningkat dari hanya 10.000 pada tahun 2022 alias melonjak 30 kali lipat.

Hampir setengah dari seluruh wabah besar ditemukan di Afrika. Di Eropa, 41 dari 53 negara di benua itu melaporkan kasus campak yang terkonfirmasi.

Robert Gallo, ketua Dewan Kepemimpinan Ilmiah dan salah satu pendiri GVN, juga memperingatkan bahwa seiring pulihnya perjalanan global pascapandemi COVID-19, wabah lokal dapat dengan cepat berubah menjadi ancaman internasional.

“Ini bukan hanya tentang campak, ini adalah peringatan tentang apa yang terjadi ketika kita lengah terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin,” ujarnya.

Para ilmuwan memperingatkan bahwa campak bisa menyebabkan komplikasi serius. Jika tidak divaksinasi, 1-3 dari setiap 1.000 anak yang terinfeksi bisa meninggal, dan banyak yang bisa mengalami masalah kesehatan parah seperti pneumonia, diare, radang otak, atau tuli.

Baca juga: Cegah Wabah karena Iklim, Indonesia Perkuat Sistem Kesehatan dengan AI

Ada juga risiko kondisi fatal seperti panensefalitis sklerosis subakut (SSPE) yakni suatu kondisi neurologis mematikan yang dapat muncul bertahun-tahun setelah infeksi.

Scott Weaver, Direktur Pusat Keunggulan GVN di Cabang Medis Universitas Texas dan Direktur Ilmiah Laboratorium Nasional Galveston, menambahkan bahwa setiap wabah campak merupakan kegagalan infrastruktur kesehatan masyarakat dan kepercayaan publik.

GVN pun mendesak vaksinasi segera bagi anak-anak yang belum divaksinasi dan orang dewasa dengan vaksin MMR yang aman dan efektif untuk melindungi masyarakat, terutama populasi rentan.

GVN juga menyerukan peningkatan kesadaran publik, peningkatan pengawasan wabah, dan sistem respons di tingkat lokal, nasional, dan global.

Upaya harus difokuskan pada masyarakat yang kurang terlayani dan pedesaan, di mana akses dan keraguan menimbulkan risiko yang lebih tinggi.

"Menurunnya cakupan imunisasi rutin sangat berbahaya, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi kemampuan dunia untuk menghadapi wabah virus di masa depan," para ilmuwan menyimpulkan.

Baca juga: 80 Persen Penyakit Usia Dewasa Bisa Dicegah dengan Vaksin

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
Food Estate di Papua Jangan Sampai Ganggu Ekosistem
LSM/Figur
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
Perjanjian Plastik Global Dinilai Mandek, Ilmuwan Minta Negara Lakukan Aksi Nyata
LSM/Figur
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Cegah Kematian Gajah akibat Virus, Kemenhut Datangkan Dokter dari India
Pemerintah
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
Indonesia Rawan Bencana, Penanaman Pohon Rakus Air Jadi Langkah Mitigasi
LSM/Figur
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Hujan Lebat Diprediksi Terjadi hingga 29 Desember 2025, Ini Penjelasan BMKG
Pemerintah
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
Kebakaran, Banjir, dan Panas Ekstrem Warnai 2025 akibat Krisis Iklim
LSM/Figur
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
Perdagangan Ikan Global Berpotensi Sebarkan Bahan Kimia Berbahaya, Apa Itu?
LSM/Figur
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
Katak Langka Dilaporkan Menghilang di India, Diduga Korban Fotografi Tak Bertanggungjawab
LSM/Figur
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
Belajar dari Banjir Sumatera, Daerah Harus Siap Hadapi Siklon Tropis Saat Nataru 2026
LSM/Figur
KUR UMKM Korban Banjir Sumatera Akan Diputihkan, tapi Ada Syaratnya
KUR UMKM Korban Banjir Sumatera Akan Diputihkan, tapi Ada Syaratnya
Pemerintah
Kementerian UMKM Sebut Produk China Lebih Disukai Dibanding Produk Indonesia, Ini Sebabnya
Kementerian UMKM Sebut Produk China Lebih Disukai Dibanding Produk Indonesia, Ini Sebabnya
Pemerintah
Walhi Sebut Banjir Sumatera Bencana yang Direncanakan, Soroti Izin Tambang dan Sawit
Walhi Sebut Banjir Sumatera Bencana yang Direncanakan, Soroti Izin Tambang dan Sawit
LSM/Figur
Perubahan Iklim Berpotensi Mengancam Kupu-kupu dan Tanaman
Perubahan Iklim Berpotensi Mengancam Kupu-kupu dan Tanaman
LSM/Figur
Sepanjang 2025, Bencana Iklim Sebabkan Kerugian hingga Rp 1.800 Triliun
Sepanjang 2025, Bencana Iklim Sebabkan Kerugian hingga Rp 1.800 Triliun
Pemerintah
Industri Finansial Dituding Berkontribusi terhadap Bencana di Sumatera
Industri Finansial Dituding Berkontribusi terhadap Bencana di Sumatera
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau