“Gedung beroperasi dengan baik, artinya tidak ada orang cedera. Itu tujuan kinerja dari gedung dengan isolasi seismik,” tegasnya.
Davy juga menekankan bahwa desain gedung ini sepenuhnya dikerjakan oleh insinyur Indonesia. Material dasar isolator memang berasal dari Italia, namun dirakit secara lokal oleh kontraktor nasional, sehingga masih memiliki nilai TKDN.
Adapun, selain dihitung dengan model matematis saat perancangan, Davy mengatakan bahwa isolator juga diuji di laboratorium untuk memastikan kekuatannya sesuai dengan yang dibutuhkan
Dari sisi keberlanjutan, sistem ini bukan hanya soal teknologi tahan gempa. Davy menjelaskan bahwa konstruksi bangunan konvensional menyumbang embodied carbon footprint yang besar dari produksi material, transportasi, hingga perbaikan dan pembongkaran.
Baca juga: 12 Kebutuhan Kritis Pasca Gempa Myanmar, dari Obat hingga Akses Air Bersih
Dengan menghadirkan gedung yang tetap utuh pasca-gempa, emisi yang dihasilkan sepanjang siklus hidup bangunan dapat ditekan secara signifikan. Tidak hanya itu, usia pakai gedung pun lebih panjang.
“Aktivitas bekerja jadi bisa terus berlangsung tanpa gangguan akibat kerusakan bangunan saat gempa. Perlindungan terhadap penghuni dan isi gedung juga punya nilai yang tidak terukur,” ujarnya.
Melihat efektivitas teknologi ini, Davy berharap sistem isolator seismik dapat diterapkan juga pada fasilitas publik lainnya, terutama rumah sakit di daerah rawan gempa.
“Tidak harus menggunakan friction pendulum, sistem isolasi, dasar bantalan karet berlapis pelat baja pun bisa bila gedungnya tidak seberat dan selangsing gedung ini,” pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya