KOMPAS.com - Penelitian baru dari Business and Human Rights Resource Center (BHRRC) menemukan adanya peningkatan gugatan hukum yang terkait dengan proyek energi terbarukan.
Menurut laporan mereka sejak tahun 2009, ada 95 kasus hukum yang diajukan di seluruh dunia yang mengklaim pelanggaran hak asasi manusia akibat proyek energi terbarukan.
BHRRC sendiri merupakan LSM internasional yang mendorong akuntabilitas dan transparansi perusahaan dengan menyoroti dampak sosial dan lingkungan perusahaan terhadap masyarakat.
Dikutip dari ESG Dive, Senin (28/7/2025), mayoritas gugatan hukum (71 persen) diajukan terhadap perusahaan yang menambang apa yang oleh BHRRC disebut sebagai "mineral transisi," yaitu delapan mineral yang merupakan elemen penting dalam teknologi energi terbarukan, seperti litium untuk kendaraan listrik.
Sementara itu, 29 persen gugatan lainnya melibatkan proyek energi terbarukan seperti angin (14 persen), tenaga air (12 persen), dan proyek surya (4 persen).
Baca juga: IRENA: Energi Terbarukan Jadi Pilihan Termurah untuk Produksi Listrik
Sekitar 77 persen dari kasus-kasus ini diajukan sejak tahun 2018, yang sejalan dengan lonjakan pembangunan proyek di sektor transisi energi baru-baru ini.
Wilayah dengan jumlah gugatan terbanyak (53 persen) adalah Amerika Latin dan Karibia. Sebanyak 76 persen dari kasus-kasus di wilayah ini berkaitan dengan penambangan mineral transisi.
Analisis BHRRC ini sendiri didasarkan pada data dari "Just Transition Litigation Tracking Tool" mereka, yang melacak sebagian kasus hukum terkait transisi energi terbarukan.
Kasus-kasus hukum yang diajukan itu menurut BHRRC didefinisikan sebagai "pemilik hak," seperti misalnya masyarakat adat, komunitas, dan pekerja yang secara langsung terdampak oleh proyek energi tersebut.
Pelacak tersebut berfokus pada gugatan perdata, konstitusional, dan administratif di pengadilan domestik, dan tidak memperhitungkan kasus pidana terhadap perusahaan atau tindakan yang diambil oleh badan-badan pengatur.
BHRRC juga menganalisis gugatan-gugatan tersebut dari sisi dampaknya terhadap penggugat, mulai dari hak atas tanah hingga kerja paksa.
Dari situ ditemukan bahwa sekitar 70 persen dari kasus yang dilacak mengklaim pelanggaran lingkungan. Sementara 56 persen kasus secara spesifik terkait dengan polusi air.
Sebanyak 40 persen kasus mengklaim dampak pada area yang dilindungi, seperti tanah suci masyarakat adat. Dan 27 persen kasus mengklaim pelanggaran hak atas tanah.
Sedangkan 48 persen kasus melibatkan pelanggaran hak atas mata pencaharian, termasuk hak atas makanan serta hak kepemilikan dan kendali atas sumber daya alam.
Baca juga: China Terapkan Standar Energi Terbarukan Pertama untuk Sektor Baja dan Semen
Hampir setengah dari seluruh gugatan diajukan oleh masyarakat adat, dan 49 persen dari kasus-kasus tersebut mengeluhkan pelanggaran hak-hak mereka, terutama hak atas "persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan".
Dalam mayoritas kasus (53 persen) yang diajukan, para pemilik hak menyatakan bahwa mereka tidak diberi konsultasi yang cukup terkait proyek tersebut.
Kendati demikian BHRRC menganggap gugatan-gugatan ini sebagai upaya untuk memperbaiki transisi energi terbarukan, bukan untuk menghentikannya.
Namun hampir 65 persen kasus hukum yang dilacak berupaya menghentikan proyek tersebut, baik secara permanen maupun sementara.
"Data tersebut menunjukkan bahwa kegagalan untuk bekerja sama dengan masyarakat yang terdampak saat meluncurkan proyek energi terbarukan menghadirkan 'risiko hukum yang parah' bagi perusahaan dan investor. Selain itu, hal ini juga berisiko memperlambat transisi energi secara keseluruhan," tulis BHRRC dalam laporannya.
"Data menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan. Jika perusahaan dan investor tidak segera mengatasi pengabaian hak asasi manusia dalam rantai nilai energi terbarukan, kemungkinan besar kita akan melihat terhambatnya transisi energi bersih yang sangat dibutuhkan," papar Elodie Abe, peneliti senior di BHRRC.
"Hak asasi manusia bukanlah hambatan untuk kemajuan, mereka adalah prasyarat untuknya," tambahnya.
BHRRC juga menambahkan data terbaru yang menunjukkan lonjakan dalam gugatan hukum terkait iklim.
Tahun lalu, sebuah laporan dari Oil Change International dan Zero Carbon Analytics menemukan bahwa jumlah tahunan gugatan hukum terkait iklim yang diajukan terhadap perusahaan-perusahaan penghasil bahan bakar fosil terbesar di dunia telah meningkat hampir tiga kali lipat sejak Perjanjian Paris diadopsi pada tahun 2015.
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa tren kenaikan signifikan dalam kasus-kasus baru yang diajukan terhadap perusahaan bahan bakar fosil tampaknya akan terus berlanjut.
Baca juga: IRENA: Energi Terbarukan Jadi Pilihan Termurah untuk Produksi Listrik
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya