Sebuah studi tahun 2016 yang dipublikasikan di jurnal Scientific Reports menunjukkan bahwa jumlah orang yang mengalami kelangkaan air meningkat drastis dari 240 juta pada awal 1900-an menjadi 3,8 miliar pada awal 2000-an—dari 14 persen menjadi 58 persen dari total populasi dunia. Wilayah yang paling berisiko mengalami kekurangan air termasuk Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan.
“Apa yang terjadi di Kabul mencerminkan tren yang lebih luas di berbagai wilayah dunia yang kekurangan air, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara,” ujar Mahmoud. “Penggunaan air tanah secara berlebihan sangat umum terjadi di banyak daerah, menyebabkan tingkat pengisian ulang tidak mampu mengimbangi tingkat pengambilan.
Perubahan iklim juga memperburuk kondisi dengan mengubah pola curah hujan dan mengurangi produksi air tawar serta pengisian ulang akuifer, sembari meningkatkan frekuensi dan keparahan kekeringan.”
Meski Kabul terancam menjadi ibu kota modern pertama yang kehabisan air, ini bukan pertama kalinya sebuah kota besar menghadapi krisis serupa. Dan, melihat tren saat ini, tampaknya ini juga bukan yang terakhir.
Pada 2018, Cape Town—ibu kota legislatif Afrika Selatan—hampir kehabisan air akibat kekeringan parah, dan baru berhasil menghindari penutupan keran air secara massal berkat pembatasan ketat serta kampanye penghematan air.
Situasi yang lebih buruk terjadi di kota Chennai, India, pada 2019, saat keempat waduk utamanya benar-benar mengering, membuat pasokan air sangat terbatas dan menjerumuskan kota ke dalam krisis.
Mahmoud mencatat bahwa kelangkaan air memiliki dampak sosial-ekonomi yang serius—mempengaruhi ketahanan pangan dan pertanian, meningkatkan biaya hidup, dan dalam kasus ekstrem, mendorong migrasi massal serta pengungsian penduduk.
“Kita memerlukan investasi yang lebih kuat dalam pengelolaan air berkelanjutan, infrastruktur air yang andal, serta tata kelola yang lebih baik untuk mulai mengatasi persoalan kekurangan air ini,” pungkas Mahmoud. (Ricky Jenihansen/National Geographic Indonesia).
Baca juga: Pakar UGM Sebut Perubahan Iklim Ancam Pola Hujan dan Pertanian Indonesia
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya