KOMPAS.com - Penggunaan dan limbah plastik di Asia Tenggara dan Asia Timur diperkirakan akan meningkat tajam dan tidak terkendali, kecuali jika negara-negara di wilayah ini segera merevisi kebijakan yang ada.
Peringatan ini disampaikan dalam laporan terbaru dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Berdasarkan kebijakan yang ada saat ini, penggunaan plastik di kawasan ASEAN Plus Three (APT) diproyeksikan akan tumbuh berlipat ganda, dari 152 juta ton pada tahun 2022 menjadi 280 juta ton pada tahun 2050.
Kawasan APT sendiri mencakup 10 negara ASEAN, yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, serta Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan.
Melansir Down to Earth, Jumat (1/8/2025), laporan menyatakan sebagian besar lonjakan kenaikan plastik ini didorong oleh produk-produk pendek seperti kemasan.
Baca juga: Riset: Serat Plastik Dongkrak Emisi Industri Fashion 7,5 Persen
Menurut laporan, China diproyeksikan akan mengalami peningkatan signifikan sampah plastik terbesar di kawasan APT, meningkat dari 76 juta tahun pada tahun 2022 menjadi 160 juta ton pada 2050.
Namun, pertumbuhan sampah plastik paling dramatis akan terjadi di negara-negara ASEAN berpenghasilan menengah ke bawah seperti Indonesia, Vietnam, dan Filipina.
Sampah plastik di negara tersebut diperkirakan akan meningkat hampir empat kali lipat dari 7,5 juta ton menjadi 28 juta ton.
Meskipun ada beberapa kemajuan dalam pengelolaan limbah, sebagian besar sampah plastik di kawasan ini masih berakhir di tempat pembuangan sampah, dibakar, atau tidak terkelola dengan baik.
Pada tahun 2022, sebanyak 29 persen sampah plastik di wilayah ini salah kelola, jauh melampaui jumlah yang didaur ulang, yang berakibat pada meningkatnya pencemaran lingkungan.
Lebih lanjut, meski persentase sampah plastik yang salah kelola di wilayah APT diprediksi turun dari 29 persen (2022) menjadi 23 persen pada 2050, laporan juga memperingatkan bahwa jumlah total sampah akan tetap meningkat drastis.
Hal ini menyebabkan volume sampah yang tidak tertangani dengan baik akan naik dari 33 juta ton ke 56 juta ton, yang berpotensi meningkatkan risiko bagi ekosistem dan komunitas.
Baca juga: Larangan Plastik Segera dan Serentak Hemat Uang 8 Triliun Dolar AS
Pada tahun 2022 saja, kawasan ini bertanggung jawab atas 8,4 juta ton plastik yang bocor ke lingkungan, jumlah ini lebih dari sepertiga total global yang menjadikannya titik panas polusi plastik dunia.
Tanpa adanya intervensi mendesak, kebocoran tahunan ini bisa meningkat menjadi 14,1 juta ton pada tahun 2050. Sebagian besar berasal dari negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah di ASEAN dan China, dengan 5,1 juta ton di antaranya mengalir ke sungai, pesisir, dan lautan.
Laporan tersebut memperingatkan pula bahwa pada tahun 2050, penumpukan plastik di perairan tawar termasuk sungai dan danau diproyeksikan mencapai 126 juta ton, jumlah yang lebih dari dua kali lipat dari tingkat tahun 2022.
Sementara itu, plastik di lautan bisa meningkat lebih dari tiga kali lipat hingga mencapai 55 juta ton, yang akan semakin merusak ekosistem laut yang sudah rapuh.
Tidak hanya memaparkan data semata, laporan ini kemudian memberikan solusi untuk mengatasi problem plastik di Asia Tenggara.
Laporan menyebut negara-negara di kawasan itu perlu mengadopsi langkah-langkah ambisius di seluruh siklus hidup plastik di bawah skenario Global High Stringency.
Dalam skenario tersebut, penggunaan plastik pada tahun 2050 dapat turun sebesar 28 persen dan sampah plastik sebesar 23 persen.
Dengan skenario itu pula, plastik daur ulang (sekunder) bisa memenuhi semua pertumbuhan permintaan di masa depan, sehingga penggunaan plastik baru (primer) bisa tetap di bawah tingkat tahun 2022.
Baca juga: Tuntutan Lebih dari 600 LSM Global, Desak Perjanjian Plastik yang Ampuh
Berdasarkan skenario ini, rata-rata tingkat daur ulang diproyeksikan naik hingga 54 persen. Sementara itu, jumlah sampah yang tidak dikelola dengan baik termasuk kebocoran plastik bisa turun hingga 97 persen jika dibandingkan dengan skenario tanpa perubahan kebijakan.
Selain itu juga perlu adanya kerja sama regional yang lebih kuat.
Faktanya, lebih dari separuh sampah plastik pesisir dari China dan negara-negara ASEAN yang lebih kaya berakhir di pantai negara-negara ASEAN lain seperti Indonesia.
Aliran sampah ini tidak berhenti di situ melainkan meluas hingga ke Samudra Hindia, mencapai negara-negara di sepanjang pantai tenggara Afrika juga.
Laporan tersebut juga memperingatkan bahaya plastik terhadap iklim.
Di kawasan APT, emisi gas rumah kaca dari seluruh siklus hidup plastik termasuk produksi dan pengelolaannya diproyeksikan akan hampir berlipat ganda, dari 0,6 GtCO2e di tahun 2022 menjadi lebih dari 1 GtCO2e di tahun 2050.
Kenaikan ini terutama disebabkan oleh permintaan yang terus-menerus terhadap produksi plastik baru.
Tanpa kebijakan yang lebih kuat dan efektif, dampak iklim dari plastik akan semakin memburuk yang selanjutnya mempercepat pemanasan global.
“Asia Tenggara dan Timur dapat menjadi model global untuk mengatasi polusi plastik dan memajukan solusi ekonomi sirkular,” ujar Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann.
“Dengan kerja sama regional yang lebih kuat, kebijakan yang ambisius, dan investasi yang terarah, kawasan ini hampir dapat menghilangkan kebocoran plastik pada tahun 2050 dan membawa manfaat jangka panjang bagi masyarakat, ekosistem, dan ekonomi global,” tambahnya.
Baca juga: Waste Station dan Single Stream Recycling, Strategi Rekosistem Ajak Anak Muda Kelola Sampah
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya