KOMPAS.com - Analisis baru yang dipublikasikan di Science of The Total Environment menunjukkan ada peningkatan risiko masalah jantung yang disebabkan oleh cuaca.
Para peneliti di Dhaka, Bangladesh melaporkan bahwa peluang kunjungan gawat darurat terkait penyakit kardiovaskular naik enam kali lipat pada hari-hari yang sangat panas dan sangat lembap, dibandingkan dengan hari-hari yang panas tetapi udaranya jauh lebih kering.
Melansir Earth, Minggu (17/8/2025) Kelembapan penting karena keringat harus menguap untuk mendinginkan tubuh, dan udara yang mengandung air menghambat penguapan.
Tekanan yang dihasilkan meningkatkan suhu tubuh, meningkatkan aliran darah ke kulit, dan dapat membebani jantung dengan kerja ekstra yang tidak dapat ditanggung sebagian orang.
Suhu lembap adalah kombinasi berbahaya yang meningkatkan beban kerja jantung, dan analisis baru ini menyoroti bahwa peringatan cuaca yang ada saat ini tidak cukup untuk menunjukkan bahaya tersebut.
Baca juga: Panas Ekstrem Membunuh Burung Tropis, Bikin Populasinya Anjlok
“Temuan ini menunjukkan bahwa kita perlu mempertimbangkan panas dan kelembapan secara bersamaan ketika kita membahas kebijakan perubahan iklim apa pun,” kata penulis pertama studi Mostafijur Rahman yang juga asisten profesor ilmu kesehatan lingkungan di Celia Scott Weatherhead School of Public Health (SPH) dan Kedokteran Tropis di Tulane University.
“Semoga pemerintah akan terdorong untuk mengembangkan sistem peringatan dini bagi kota-kota tentang panas dan kelembapan yang berbahaya. Kita tahu panas ekstrem dapat berdampak negatif terhadap kesehatan, tetapi saya tidak pernah menyangka peningkatan risiko sedrastis ini jika kelembapan tinggi juga diperhitungkan,” terangnya lagi.
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu ekstrem yang panas menjadi lebih sering dan lebih intens seiring dengan pemanasan planet.
Mengatasi permasalahan tersebut, akses ke tempat-tempat yang memiliki pendingin pun menjadi hal yang krusial.
Namun di sisi lain hanya sedikit tempat yang memiliki fasilitas tersebut.
Contohnya saja, laporan survei nasional terbaru di Bangladesh menunjukkan bahwa hanya sekitar 2,28 persen rumah tangga yang memiliki AC pada tahun 2023, meningkat 1,6 persen pada 2021.
Berdasarkan analisis global, Bangladesh termasuk di antara negara-negara dengan populasi besar yang memiliki risiko tinggi karena kurangnya akses terhadap pendinginan yang terjangkau dan berkelanjutan.
Kesenjangan tersebut menciptakan paparan bahaya yang tidak dapat dihindari dengan mudah oleh individu, terutama selama periode gelombang panas yang berlangsung beberapa hari.
“Ada miliaran orang di seluruh dunia, dari Asia Tenggara hingga Afrika, yang secara langsung terdampak oleh kenaikan suhu tetapi memiliki sedikit akses ke AC,” kata Rahman.
Adaptasi dengan panas dan kelembapan akhirnya menjadi cara untuk mengurai permasalahan ini.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya