Namun, Penentuan Pendapat Rakyat 1969 tetap kontroversial karena hanya melibatkan perwakilan terbatas (UN Document A/7723). Fakta-fakta ini menegaskan Papua sejak awal berada di persimpangan sejarah dan politik.
Sejarah tidak boleh dijadikan alibi untuk mengabaikan Papua, sebaliknya ia menuntut koreksi jujur dan keberanian kenegarawanan hari ini.
Jika seluruh fakta itu dijahit menjadi satu kebijakan, ujungnya adalah arah baru yang berpijak pada data empirik, melindungi yang rentan, dan menolak akumulasi kepentingan sempit demi keadilan sosial-ekonomi jangka panjang.
Maka, tak ada pilihan lain, kebijakan harus diterjemahkan ke dalam mandat-mandat strategis yang jelas.
Pertama, mandat ekologis harus tegas. Taman Nasional Lorentz dan Lanskap Kepala Burung harus diperlakukan sebagai infrastruktur alam nasional setara jalan, bandara, dan smelter.
Instrumen kebijakan berupa moratorium izin di bentang konservasi tinggi, penataan ulang konsesi tumpang tindih, serta pembiayaan berbasis hasil untuk desa adat penjaga hutan adalah langkah minimal agar bank kehidupan ini tidak menjadi kolateral proyek sesaat.
Kedua, mandat manusia sama penting. Angka kemiskinan dan IPM menuntut layanan dasar yang sesuai geografi sosial Papua. Perekrutan dan penempatan guru, tenaga kesehatan, serta penyuluh dari komunitas lokal harus diperkuat lewat skema afirmatif.
Ekosistem pembelajaran mesti mengakui keragaman bahasa, sehingga transisi literasi dari bahasa ibu ke bahasa Indonesia dirancang dengan dukungan pelatihan guru, materi ajar, dan partisipasi orang tua.
Ketiga, mandat maritim membuka ruang kemakmuran jika tata kelola diperketat.
Stok pelagis dan demersal Arafura cukup untuk menopang ekonomi pesisir bila dilindungi dari praktik ilegal.
Peningkatan kepatuhan pelaporan, modernisasi pelabuhan, serta pengawasan terintegrasi antarlembaga menjadi tiga sumbu yang saling mengunci. Data potensi lestari sudah ada, cetak biru penertiban tersedia.
Kurangnya hanyalah konsistensi menutup kebocoran hasil laut yang mencapai seperempat hingga sepertiga tidak tercatat.
Keempat, mandat nilai menuntut cara pandang baru terhadap pengetahuan.
Selama puluhan tahun ratusan publikasi tentang biodiversitas, bahasa, antropologi, kesehatan publik, ekonomi, dan tata kelola hutan di Papua dihasilkan. Namun, sebagian besar berakhir sebagai sitasi akademik atau koleksi perpustakaan.
Diperlukan arsitektur penerjemah kebijakan yang menghubungkan kampus, balai riset, komunitas adat, dan pemerintah daerah dengan dukungan anggaran yang memadai.
Model pemantauan jejaring kawasan konservasi Lanskap Kepala Burung membuktikan data ekologis dan sosial dapat dipakai untuk evaluasi kinerja berulang dan koreksi strategi.
Baca juga: Korupsi Kuota Haji: Tergerusnya Nilai Agama, Matinya Nurani Kemanusiaan
Pendekatan ini bisa diperluas ke sektor pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan sosial.
Pada akhirnya, alasan strategis mengapa Papua harus menjadi atensi utama negara tersusun rapi di atas bukti.
Ia adalah bank hayati yang menjaga iklim regional, simpul maritim dan protein yang menopang kedaulatan pangan, penentu posisi tawar dalam rantai mineral dan energi transisi, rumah bagi ratusan bahasa dan budaya yang memperkaya republik, sekaligus ruang sejarah yang menuntut pemulihan martabat.
Membiarkan Papua berjalan di jalur lama berarti menukar masa depan dengan catatan kehilangan.
Sebaliknya, mengelola Papua secara benar berarti menempatkan manusia dan alam di pusat keputusan, lalu membiarkan data memandu langkah, bukan sekadar omon-omon.
Bukti ada di hadapan kita, waktu kian singkat, dan pilihannya hanya satu: beranjak dari retorika menuju keberanian bertindak memperbaiki yang masih tersisa. Betapa dungunya kita jika terus abai pada bukti dan kekayaan luar biasa pemberian Tuhan ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya